Apakah Anak Anak Cerdas? YA. Setiap Anak Cerdas
Writer : Meilania Chen, M. Pd
Kata "cerdas"seringkali dikaitkan dengan keberhasilan anak di sekolah, khususnya dalam kemampuan meraih prestasi akademik yang baik. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan seorang anak tidak bisa diukur atau dinilai hanya dari nilai akademik yang diperolehnya di sekolah.
Howard Gardner mengemukakan bahwa paling tidak ada 9 jenis kecerdasan dalam diri seorang anak, yaitu: Kecerdasan Linguistik, Visual Spasial, Logis Matematis, Musik, Intrapersonal, Interpersonal, Alam, Kinestetik, dan Eksistensialis. Setiap anak memiliki 9 jenis kecerdasan tersebut, masing-masing dengan kadar dan kombinasi yang berbeda. Perpaduan beragam jenis kecerdasan inilah yang nantinya akan berpengaruh besar dalam masa depan seorang anak.
Oleh sebab itu, penting bagi para Orang Tua dan para Pendidik (Guru Sekolah maupun Guru Sekolah Minggu) untuk mengenali serta mengembangkan semua jenis kecerdasan anak sehingga masing-masing anak dapat bertumbuh secara optimal sesuai dengan potensi kecerdasan yang sudah Tuhan berikan dalam diri masing-masing anak secara khusus.
Mengenali serta Menggali Potensi Kecerdasan Anak
Menurut Gardner, dalam rentang usia 0-7 tahun, seorang anak berada dalam Tahap EKSPLORASI. Ini adalah masa yang sangat tepat untuk mengenali ragam kecerdasan anak yang menonjol melalui lingkungan yang kaya stimulasi. Pada usia ini, anak perlu dibebaskan untuk memilih jenis-jenis aktivitas yang disukainya sehingga baik anak maupun orang tua dan guru akhirnya dapat MENGENALI kombinasi kecerdasan anak yang cenderung menonjol / kuat maupun jenis-jenis kecerdasan mana yang kelihatannya kurang berkembang.
Manfaat yang diperoleh anak bila dia TAHU apa kelebihan serta kekurangannya adalah rasa percaya diri yang sehat. Berangkat dari potensi kecerdasan yang dimiliki oleh seorang anak, orang tua dan guru dapat bekerjasama untuk mengembangkan diri anak dengan lebih baik.
Yang perlu dihindari oleh orang tua maupun guru dalam tahap ini adalah memberikan judgement yang terlalu dini kepada anak, misalnya: "Oh, anak saya pandai musik, jadi lebih baik saya melatih bidang musik saja supaya dia menjadi musikus". Bukannya menggali seluruh potensi anak, sikap ini malah merugikan karena cenderung mempersempit bidang keahlian anak.
Oleh karena itu, yang perlu dilakukan oleh para orang tua dan guru selama periode EKSPLORASI ini adalah menyediakan lingkungan yang kondusif supaya seluruh jenis kecerdasan yang ada dalam diri anak dapat bertumbuh secara optimal.
Periode perkembangan berikutnya, disebut oleh Gardner sebagai Tahap SPESIALISASI (rentang usia 7-14 tahun), yaitu suatu masa di mana anak telah mampu mengembangkan ketrampilan-ketrampilan tertentu yang diminatinya hingga menjadi kompeten atau "ahli di bidangnya". Apa yang berhasil dicapai oleh anak selama periode ini akan meningkatkan dan memantapkan rasa percaya dirinya yang sehat, sehingga dia siap memasuki periode perkembangan berikutnya.
Dalam tahap perkembangan yang ke-3 yang disebut sebagai Tahap SINTESIS, si anak sudah memasuki usia remaja. Dalam tahapan ini mereka sudah siap untuk mengaplikasikan kompetensinya dalam konteks dunia nyata. Ini adalah masa di mana mereka mulai belajar dan sudah dapat menerapkan kombinasi kecerdasannya dalam praktek hidup sehari-hari yang lebih kompleks. Mereka akan bertumbuh menjadi orang dewasa yang mandiri, mampu mengatasi masalah hidup, serta dapat menerima serta mengembangkan dirinya sendiri.
Bagaimana Membantu Anak Mengoptimalkan Kecerdasannya?
Hal umum yang sering terjadi selama ini adalah, bila anak memiliki kelemahan dalam satu bidang tertentu, maka orang tua dan guru akan menambah waktu, tenaga, serta segala daya upaya untuk berkutat dan terus-menerus berada dalam bidang tersebut.
Misalnya, bila ada anak TK dinilai kurang dalam keterampilan menulis (Kecerdasan Lingustik) maka dia akan diberi tambahan pelajaran / les menulis, bila perlu ditambah pekerjaan rumah dan tugas-tugas menulis lainnya. Contoh lain, bila anak SD dinilai kurang dalam pelajaran matematika, maka dia akan diberi tugas rumah dan soal-soal matematika lebih banyak serta lebih sering, bahkan mungkin mengikuti kursus matematika di luar jam pelajaran sekolah.
Berfokus pada KELEMAHAN anak untuk memperbaikinya justru cenderung untuk semakin memperkuat kelemahan itu sendiri dan membuat anak tersiksa secara mental. Akan lebih baik bila orang tua dan guru bekerjasama untuk memperbaiki kelemahan anak melalui KEUNGGULAN yang dimiliki si anak tersebut.
Bila anak TK dalam kasus di atas ternyata suka menggambar (Kecerdasan Visual) misalnya, maka orang tua dan guru dapat mengembangkan kegemaran untuk menulis melalui aktivitas visual. Bila anak SD dalam kasus di atas ternyata suka olah raga (Kecerdasan Kinestetik / Tubuh), maka kecintaan akan materi matematika bisa dikembangkan melalui kegiatan atau soal-soal yang terkait dengan dunia olah raga.
"Belajar akan efektif kalau Anda dalam keadaan FUN", demikian ungkap Gordon Dryden dan Jeannette Vos dalam buku mereka yang berjudul Revolusi Cara Belajar. Jadi, daripada berpusat pada ketidakmampuan anak, yang biasanya diikuti pula oleh perasaan tidak suka akan materi yang tidak dapat dikuasainya tersebut, lebih baik memanfaatkan kekuatan / potensi anak untuk memperbaiki kekurangannya.
Pelayanan Anak dengan filosofi Multiple Intelligences (MI)
Periode EKSPLORASI
Penting bagi anak untuk menikmati area bermain yang memungkinkan mereka untuk mencoba segala macam aktivitas yang mewakili beragam jenis kecerdasan. Tugas orang tua dan guru adalah menjadi Observer serta teman bermain anak, bukan sebagai orang dewasa yang tahu segalanya, yang mendikte cara-cara bermain, atau yang menentukan jenis mainan anak.
Penulis telah memulai sebuah pelayanan untuk anak pra-sejahtera usia balita dengan mendirikan sebuah Learning Centeryang bertujuan untuk mengenali sejak dini bakat minat anak, serta menumbuhkan semangat belajar melalui beragam cara sesuai dengan potensi kecerdasan anak. <http://www.indonesia-educenter.net/HLLC>
Periode SPESIALISASI
Anak-anak akan menjadi lebih antusias belajar saat mereka diberi pilihan untuk menentukan sendiri dengan cara apa mereka akan memperdalam materi pelajaran yang telah diperolehnya. Untuk melihat arsip materi-materi Pelatihan MI serta hasil penelitian terhadap siswa SD, lihat <http://www.indonesia-educenter.net/mi>
Sekolah Minggu yang menggunakan filosofi MI akan memperlihatkan suasana kelas yang hidup dengan anak-anak aktif belajar melalui berbagai macam kegiatan / cara. Guru MI lebih berperan sebagai desainer aktivitas, manager informasi, dan fasilitator daripada sebagai penceramah. Pembelajaran ala MI dinyatakan berhasil apabila anak-anak terlibat aktif dalam berbagai pilihan aktivitas belajar yang dilakukannya secara mandiri namun masing-masing mengarah pada tujuan pembelajaran yang sama.
Periode SINTESIS
Yang paling ideal bagi anak remaja adalah dengan melibatkan mereka dalam sebuah proyek. Dimana setiap anggota tim memiliki tugas serta tanggung jawab masing-masing yang saling terkait, sehingga selain belajar untuk mengaplikasikan keahliannya, mereka juga belajar untuk saling berinteraksi dan bekerjasama seperti layaknya kehidupan di dunia kerja dan masyarakat luas. Dalam masa ini, perlu ditekankan pentingnya penerapan Practical Intelligences, yaitu kemampuan untuk menghadapi serta menyelesaikan masalah hidup secara nyata.
Filosofi Multiple Intelligences memberi sumbangsih yang nyata dalam proses pendidikan anak secara utuh. Dimana seorang anak tidak lagi dinilai berdasarkan jenis-jenis tes tertentu yang kurang manusiawi, melainkan dihargai keunikannya serta diberi kesempatan untuk bertumbuh serta berkembang sesuai dengan potensi kecerdasan yang sudah Tuhan titipkan dalam diri mereka masing-masing.
Biarlah bunga mawar tumbuh menjadi bunga mawar yang cantik, biarlah bunga melati tumbuh menjadi bunga melati yang harun, dan bunga matahari tumbuh menjadi bunga matahari yang anggun. Biarlah masing-masing anak kita boleh tumbuh menjadi seperti yang Tuhan rencanakan bagi mereka masing-masing. Dan biarlah kita sebagai orang tua dan guru boleh menjadi tanah yang subur bagi anak-anak kita untuk bertumbuh.
Selamat melayani anak-anak. Soli Deo Gloria
Meilania (meilania.chen@gmail.com)
Arsip: NCWC (National Children’s Workers Conference) Jakarta
Jika melalui tulisan ini Anda merasakan dorongan di hati, mungkin Tuhan sedang mengajak Anda untuk turut ambil bagian.
Kami mengundang Anda dengan rendah hati untuk mendukung pelayanan ini melalui persembahan kasih, sebagai wujud nyata dari kepedulian dan kasih yang Tuhan taruh dalam hidup kita.
Setiap dukungan yang Anda berikan akan menjadi berkat yang berarti bagi banyak jiwa yang rindu mengalami kasih dan pengharapan sejati
Kesenjangan Antar Generasi yang Dipicu Oleh “Percepatan” Perkembangan Teknologi
Writer : Meilania Chen, M. Pd
Bulan Oktober yang baru lalu, saya diundang ke sebuah gereja untuk memimpin sesi bincang-bincang santai dalam rangka Bulan Keluarga. Yang menarik adalah, acara tsb dihadiri oleh 3 generasi: kakek nenek, ayah ibu, dan anak serta cucu. Yang bikin unik acara ini adalah temanya –para pengurus melihat kebutuhan akan perlunya pencerahan soal RELASI (hubungan) antar keluarga yang mulai berubah akibat perkembangan teknologi. Ini benar-benar menantang buat saya.
Mengumpulkan 3 generasi dalam sebuah acara saja sudah susah. Mending kalau topiknya tentang komunikasi dalam keluarga, saling kasih mengasihi antar anggota keluarga, dan sejenisnya … Tetapi membuat acara gathering dengan topik Dampak Perkembangan Teknologi ??? Ini ide yang benar-benar brilliant dari pengurus !!
Mengapa saya sebut brilliant? Karena memang topic INI-lah yang tengah terjadi di antara kita. Setiap generasi, baik itu para lansia di atas usia 60 tahun, kaum dewasa di usia paruh baya (40-50 tahun), dewasa muda / pasangan yang baru menikah dan memiliki anak masih kecil (di usia 30an tahun), hingga ke para pemuda dan kaum profesi (usia 20an tahun), mahasiswa, pelajar (belasan tahun), bahkan anak SD dan balita hingga bayi sekalipun – tidak ada yang steril atau tidak terkontaminasi dari dampak perkembangan teknologi.
Disadari atau tidak, gaya hidup kita pun ikut berubah seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi.
Trend di era 1980an
Tahun 2013 ini, National Geographic menayangkan seri dokumenter tentang kehidupan di era 1980an. Saya amat sangat bersemangat untuk menontonnya. Itu adalah masa dimana saya dibesarkan. Saya masih bisa mengingat dengan jelas apa sajagames yang sedang trend saat itu, lagu-lagu yang menjadi hits, selebriti yang jadi idola kaum remaja, dan yang pasti tidak mungkin terlupakan adalah … hadirnya barang-barang hi-tech (pada masa itu) yang menjadi cikal bakal gadgets zaman sekarang.
Segera saja saya mengajak anak-anak saya untuk ikut menonton acara tsb sembari saya dengan semangat menceritakan “kehidupan mama tempo doeloe”. Nah itu tuh lihat … dulu mama juga punya roll rambut seperti itu. Di era 1980an saya yakin semua anak perempuan pasti memiliki roll rambut di rumahnya karena ingin tampil bak Lady Di (yang feminin) atau Madonna (yang pemberontak).
Tetapi bagaimana dengan anak perempuan di zaman sekarang? Rambut luruslah yang jadi trend.
Era 1980an juga terkenal dengan hadirnya Walkman - kaum muda di berbagai tempat berkeliaran di jalanan mengenakan walkmansambil asyik berdendang sendirian, tanpa menghiraukan orang lain di sekitarnya. Ini trend baru pada masa itu. Sebelum adawalkman, para pemuda suka membawa compo audio player yang seukuran 2 box mie instant kemana-mana. Tetapi sejak hadirnya walkman, gaya hidup pun mulai berubah. Mendengarkan music, yang dulu dilakukan beramai-ramai, sekarang berubah menjadi private (pribadi).
Bagaimana dengan teknologi komunikasi?
Di era ini pulalah cell phone mulai mengalami revolusi (disebut revolusi karena perkembangannya sangat pesat, sama sekali bukan evolusi yang lambat). Bagi kita yang saat ini berusia di atas 40 tahun tentu masih ingat bagaimana bentuk cell phone di era 1980an yang segede batu bata dan beratnya jelas melebihi berat batu bata !! Di zaman itu, kalau ada orang yang bawa cell phoneakan terlihat sangat keren … tapi jangan coba-coba kita melakukannya di zaman ini J
Di era selanjutnya, tahun 1990an, saya masih ingat betul bagaimana saya dan pacar saya (sekarang suami saya) berkomunikasi. Kebetulan waktu itu kami tinggal di kota yang berbeda. Saya di Surabaya, suami saya di Malang. Kami berkomunikasi lewat alat yang disebut pager. Ya ampun … itu jauh sebelum ada handphone. Beginilah cara menggunakan pager: Saya harus menelepon ke operator, meninggalkan pesan lisan, lalu operator mengetikkan pesan saya tsb agar bisa dibaca di halaman pager suami saya (bayangkan pager adalah seperti alat penerima text message, mirip SMS). Sekarang, pager tinggal sejarah.
Hari ini, sepertinya semua orang memiliki minimal 1 buah handphone. Di kota besar, kata “handphone” sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan “smartphone” – karena memang begitulah kenyataannya, handphone kini tidak lagi hanya berfungsi untuk menelepon, namun sekaligus mencakup banyak fungsi lainnya mulai dari browsing internet, chatting di berbagai media sosial,texting, camera, dll.
Ada yang mengatakan bahwa kehadiran teknologi komunikasi ini mampu membuat “yang jauh jadi dekat” namun sekaligus membuat “yang dekat jadi jauh”. Barangkali sharing dari seorang nenek berikut ini bisa membantu kita untuk mengerti arti kalimat di atas.
Nenek Lisa (bukan nama sesungguhnya) mengatakan bahwa saat malam tiba, dimana seluruh anggota keluarga sudah pulang ke rumah – nenek Lisa tinggal bersama anaknya yang sudah menikah dan ada pula cucu di rumah tsb - maka yang terjadi adalah masing-masing masuk ke kamarnya. Lucunya, di dalam kamar mereka semua saling chatting lewat handphone masing-masing, satu dengan lainnya. Yah, kalau begitu, kenapa tidak berkumpul saja mengobrol di ruang keluarga?
Nenek Lisa juga mengatakan bahwa sejak ia menggunakan smartphone maka ia bisa lebih sering berkomunikasi dengan anak-anaknya yang ada di luar kota maupun luar negeri. Jadi, ia merasa lebih “dekat” dengan anak-anaknya yang jauh. Mereka juga bisa lebih intens berdiskusi (dalam group BB), atau saling “menyapa” lewat Skype.
Inilah yang dimaksud dengan “mendekatkan yang jauh” sekaligus “menjauhkan yang dekat”.
Salah seorang remaja yang pernah saya wawancara dengan terus terang mengatakan bahwa dirinya merasa lebih nyaman untuk berkomunikasi lewat “mengetik” daripada ketemu dan berbicara langsung. Alasannya, kalau dengan mengetik, ia bisa berpikir lebih dahulu, juga bisa menambahkan ikon-ikon lucu yang menunjukkan ekspresi tertentu (sedih, senang, bingung, dsb). Terus terang, waktu itu para peserta kaget juga saat mengetahui bahwa generasi sekarang ternyata lebih suka berada di balik layar smartphone untuk berkomunikasi daripada berhadapan muka dengan muka.
Seorang ibu dari 2 anak (usia SD) yang juga melayani anak-anak balita di Sekolah Minggu menceritakan pengalamannya bersama anak-anaknya. Kalau anak-anaknya sudah bawa gadget dari rumah, jangan harap mereka akan “sadar” untuk bermain secara fisik dengan teman-teman. Pasti mereka akan lebih asyik dengan gadgetnya. Oleh sebab itu, si ibu selalu mengingatkan agar bila bertemu dengan teman-teman (misal: waktu ada kegiatan di gereja) anak-anaknya INGAT dan “sadar” untuk meletakkan gadgetlalu bermain bersama teman-teman. Mengapa? Karena asyik dengan gadget toh bisa dilakukan kapan saja, terutama saat TIDAK sedang bersama teman-teman atau orang lain.
Saya pikir ini ide yang bagus meskipun tidak mudah untuk diterapkan bagi anak-anak kita yang sudah keranjingan dan kecanduangadget.
TV dan Pop-Culture: penyebab gap antar generasi
Salah satu produk teknologi yang dianggap menjadi primadona dan benar-benar mengubah secara drastis gaya hidup manusia di seluruh dunia adalah sebuah kotak bergambar dan bersuara yang kita kenal dengan sebutan: televisi (TV).
Menoleh sejenak ke belakang, sebelum TV menghiasi rumah-rumah kita, tahukah Anda, kira-kira hiburan apa yang biasa dinikmati oleh keluarga-keluarga tempo doeloe? Mari kita coba kembali ke masa lalu …
Sekitar tahun 1870an, gramophone (yang biasa disebut talking machine = mesin yang bisa berbicara) adalah alat canggih pada masa itu. Alat ini bisa merekam suara dan memutar kembali rekaman suara tsb. Buat kita yang hidup di era digital saat ini mungkin sulit membayangkan bahwa alat sesederhana gramophone ini bisa menjadi popular di zamannya, bahkan disebut-sebut sebagaientertainer (penghibur) yang luar biasa.
Kemudian muncullah radio, yang juga mengubah gaya hidup manusia pada zaman itu. Hadirnya radio membuat seluruh anggota keluarga berkumpul bersama dan mendengarkan radio – apa pun program yang mereka siarkan! Mulai dari berita, musik, sandiwara, dan berbagai informasi lainnya yang disiarkan lewat radio tsb. Saat ini sebagian dari kita masih melanjutkan “kebiasaan” mendengarkan radio, hanya saja dengan cara yang berbeda. Kita lebih sering mendengarkan radio secara pribadi (di mobil saat berada dalam perjalanan, di dapur sembari masak, di kantor sambil bekerja, dsb) ketimbang meluangkan waktu bersama dengan keluarga – sambil tidak melakukan apa-apa – dan hanya mendengarkan serta menikmati radio.
Hingga kemudian, muncullah hiburan paling popular di zaman ini dan yang masih terus bertahan (bahkan mungkin akan terus berkembang) yaitu: TV. Hadirnya TV, disadari atau tidak, telah mengubah gaya hidup semua manusia yang memiliki serta menikmatinya. Baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, berasal dari suku bangsa apa pun, umur berapa pun, hingga kelas sosial ekonomi mana pun. Semuanya mengalami perubahan gaya hidup gara-gara menikmati TV.
Kotak bergambar dan bersuara ini tiba-tiba saja menyedot perhatian umat manusia dan membuat kita semua terpikat dengannya. Saya masih ingat tahun-tahun saya kuliah, dimana waktu itu ada siaran TV berseri yang disebut telenovela (film drama berseri ala Amerika Latin). Hampir semua kaum ibu keranjingan acara tsb dan persis saat jam tayang telenovela, jalan-jalan raya dan pusat keramaian kaum ibu jadi lebih sepi dari biasanya. Tidak sedikit kaum ibu yang kemudian menata ulang jadwal aktivitas sehari-harinya agar tidak “bertabrakan” dengan jadwal tayang telenovela kesayangannya. Tidak hanya kaum ibu yang keranjingan telenovela, salah seorang tetangga saya waktu itu (bukan di Bandung), yang adalah seorang pria lulusan sekolah teologia, juga gemar nonton telenovela J.
Siaran langsung pertandingan bola yang disiarkan di TV juga mempengaruhi aktivitas hidup masyarakat, bukan hanya lokal namun juga global. Demikian pula peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dunia ini, meskipun terjadi di satu tempat di muka bumi, namun dampaknya dilihat, diamati, dirasakan, dan diikuti oleh umat manusia dari berbagai tempat di dunia. Misalnya: kita tentu masih ingat proses pemilihan presiden Amerika yang memenangkan Barrack Obama, tragedy WTC 9/11, atau peristiwa spektakuler saat Diego Maradona memasukkan gol lewat sentuhan tangannya, dsb.
Lewat TV ini pulalah generasi kita kemudian mengenal apa yang namanya Pop-Culture (budaya pop). Yaitu sebuah budaya, yang meskipun mungkin berasal dari satu wilayah tertentu di muka bumi ini, namun karena pengaruh popularitasnya dan adanya penerimaan dari banyak orang, akhirnya budaya tsb “diadopsi” menjadi budaya milik bersama. Sebagai contoh: K-Pop (group musik Korea) digandrungi oleh banyak sekali remaja dari berbagai belahan bumi kita ini. Trend baju, rambut, dsb sekarang mulai diwarnai oleh K-Pop. Tidak peduli Anda berada di Jakarta atau Bandung hingga ke pelosok NTT sekalipun (karena saya pernah mewawancarai para remaja di Kupang) – bintang-bintang Korea dikenal dengan sangat baik dan jadi idola para remaja di sana.
Di satu sisi, TV seolah “mempersatukan” semua umat manusia dari belahan dunia manapun. Karena lewat TV, semua umat manusia berbagi informasi dan berita yang sama. Apa yang terjadi di Amerika atau di Afrika saat ini, kita yang di Indonesia bisa langsung mengetahuinya saat itu juga.
Namun, di sisi yang lain TV ternyata juga “memisahkan” generasi yang tua dari generasi yang muda. Dulu, saat TV di Indonesia hanya memiliki TVRI dan tidak ada pilihan program lainnya, maka baik tua maupun muda akan menikmati kebersamaan dengan menonton siaran atau program yang sama. Bagi generasi orang tua yang saat ini berusia 40-50an tahun, tentu masih terekam dalam memori kita masa-masa kita menonton film seri keluarga di hari Minggu siang yang berjudul “Little House on The Praire” – sebuah film keluarga yang sangat bagus dan kental dengan nilai-nilai kristiani yang diangkat dari kehidupan keluarga Charles Inggals.
Tetapi coba kita lihat apa yang terjadi dengan TV yang ada di rumah kita masing-masing saat ini. Bila kita hanya memiliki 1 TV maka kemungkinan yang akan terjadi adalah keributan antar anggota keluarga saat hendak menentukan mau menonton acara atau program apa. Selera si cucu berbeda dengan kakek neneknya, dan berbeda pula dengan ayah ibunya.
Bila kita memiliki masing-masing 1 TV untuk setiap anggota keluarga, maka kemungkinan yang terjadi adalah, masing-masing menikmati siaran TVnya sendiri dan makin jarang waktu untuk menonton atau sekedar berinteraksi bersama.
Kita harus mengakui, selera tiap generasi BERBEDA. Karena tiap generasi dibesarkan oleh tradisi dan budaya yang BERBEDA dengan zaman berikutnya. Pop-culture yang mempengaruhi tiap generasi juga berbeda. Mari kita perhatikan bagaimana konflik antara orang tua dan anak-anaknya yang remaja bisa semakin meruncing gara-gara perbedaan selera yang terbentuk dari pop-culture yang berasal dari 2 zaman yang berbeda.
Di era 1980an, cowok keren digambarkan seperti Rambo (yang dibintangi oleh Rocky Balboa) dengan tubuh maskulin yang berotot kekar, memegang senapan, dan menghabisi musuh seorang diri. Cowok keren juga diwujudkan lewat sosok bintang Hollywood terkenal, Arnold Swazcheneger. Kadang ia memerankan tokoh robot (terminator) tanpa perasaan, namun juga bisa menjadi guru TK yang disayangi anak-anak balita. Cowok keren nan romantis diperankan oleh Patrick Swayz yang pandai berdansa. Namun, satu hal yang tak bisa dipungkiri dari ketiga gambaran cowok keren di atas, adalah mereka semua para pria yang memiliki tubuh atletis, berotot, dan cocok jadi fitness models dengan tampilan perut six packs.
Di era sekarang, dengan melejitnya K-Pop di berbagai belahan dunia, gambaran tentang cowok keren sama sekali jauh berbeda dengan Rambo, Terminator, atau siapapun pria dengan perut six packs mereka. Tipe cowok keren yang digambarkan oleh generasi ini adalah: langsing, kulit wajah mulus, dan mengenakan make up. Cowok keren dan cakep ala K-Pop barangkali oleh orang-orang yang dibesarkan di era 1980an akan disebut sebagai cowok-cowok feminin yang cantik, bukan cowok keren dan cakep.
Definisi cowok cakep dan keren sepertinya memang telah berubah, seiring dengan berjalannya waktu. Namun bukan “waktu” itu sendiri yang menjadi faktor pemicunya, melainkan apa yang terjadi di tengah tenggat waktu tsb – yaitu: dampak teknologi yang mendorong terciptanya Pop-culture.
Itulah mengapa muncul keributan antara orang tua dan anak-anak remajanya. Saat si anak mengecat rambutnya (yang aslinya warna hitam) dengan warna blonde (kuning keemasan), orang tuanya kaget dan sulit menerima bahwa itu adalah penampilan yang “normal” di kalangan remaja. Saat seorang remaja laki-laki mulai rajin ke salon untuk perawatan kulit dan wajah, orang tuanya mulai khawatir, jangan-jangan anak cowoknya bertingkah laku tidak normal. Saat anak perempuan kita berteman baik dengan seorang laki-laki yang mengenakan kemeja warna pink dan celana panjang warna kuning menyala, kita langsung panik dan berusaha untuk memisahkan kedekatan mereka.
Miskomunikasi mulai terjadi, hanya karena kedua belah pihak (dari 2 generasi yang berbeda) dibesarkan dengan cara yang berbeda, dan selera mereka pun terbentuk secara berbeda.
Dalam bincang-bincang santai yang saya sebutkan di atas, saya sempat putarkan cuplikan 2 klip video music. Yang pertama adalah Elvis Presley menyanyikan lagu “Jailhouse Rock” dan yang kedua adalah Super Junior dengan lagu yang berjudul “Sorry, Sorry”. Kedua lagu ini sama-sama disajikan oleh para pemuda yang menyanyi sekaligus menari (dance). Saya bertanya kepada para penonton, yang mana yang lebih cocok dengan selera mereka (enak dilihat dan enak didengar), group Elvis Presleykah? Atau group Super Junior?
Tentu Anda sudah bisa menebak jawabannya. Ya! Pendapat para penonton terpecah menjadi dua. Generasi yang lebih tua jelas lebih menyukai Elvis Presley sedangkan generasi muda (remaja dan pemuda) lebih menyukai Super Junior.
SELERA kita terbentuk sesuai dengan budaya mana yang telah “membesarkan dan mengasuh” kita.
PERCEPATAN Perkembangan Teknologi – inilah masalah utamanya!
Pernahkah kita membayangkan, kenapa di zaman sekarang banyak orang tua (generasi yang lebih tua) mengeluhkan soal kesenjangan / gap komunikasi dengan anak-anak dan cucu-cucu mereka (generasi yang lebih muda)? Barangkali penyebab utamanya adalah karena kita hidup di zaman dimana PERCEPATAN perkembangan teknologi terjadi dengan sangat pesat hingga tak satu manusia pun mampu mengikutinya.
Coba bayangkan kehidupan keluarga di zaman Adam dan Hawa, zaman Nuh, zaman Abraham. Dimana selama ratusan dan ribuan tahun, barangkali satu-satunya temuan teknologi yang paling berpengaruh di masa itu adalah saat ditemukannya: RODA – yang kemudian membuat manusia menjadi lebih mobile (mudah bergerak dan bepergian lebih jauh dengan lebih cepat).
Di era agraria, kehidupan relatif stabil dan monoton. Ayah bekerja di ladang, ibu mengurus rumah, dan anak-anak membantu pekerjaan ayah dan ibu. Peran laki dan perempuan sangat jelas perbedaannya, namun keduanya saling membantu dan melengkapi. Namun, saat memasuki era industri, akibat temuan mesin uap, listrik, dan diikuti oleh berbagai temuan dalam bidang telekomunikasi, transportasi, hingga ke mesin dan alat-alat yang membuat hidup jadi lebih mudah dan nyaman, kehidupan keluarga pun mulai mengalami perubahan.
Didorong oleh tuntutan hidup pada era industri, kaum pria mulai meninggalkan ladang dan rumah untuk bekerja di kota dan di pabrik-pabrik. Produksi massal menjadi ciri utama era ini, dan manusia (tenaga kerja) hanyalah dijadikan salah satu “asset” bagi para penguasa untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar. Inilah era dimana figur ayah mulai hilang dari tengah keluarga dan selanjutnya akan mempengaruhi gaya hidup (interaksi dan komunikasi) antar anggota keluarga.
Di era digital (era informasi) saat ini, meskipun di satu sisi membawa kesempatan bagi keluarga untuk kembali “disatukan” namun sekaligus juga membawa potensi kehancuran bagi keluarga. Ayah dan ibu yang bekerja di era informasi menikmati kemudahan dalam banyak hal, baik itu dalam hal transportasi maupun komunikasi. Seorang ayah bisa saja sarapan pagi di rumahnya di Bandung, berangkat kerja ke Singapore, dan malamnya dia sudah bisa berada lagi di rumahnya di Bandung sambil bermain bersama anak-anaknya. Si ibu barangkali sesekali waktu ada kegiatan keluar kota atau keluar negeri, namun selama ia bepergian dan jauh dari rumah, ia bisa tetap berkomunikasi dengan suami dan anak-anaknya melalui skype.
Teknologi mampu “mendekatkan” yang jauh, ini adalah kabar baiknya. Namun kabar buruknya juga ada, yaitu: hadirnya teknologi seringkali “menjauhkan” yang dekat.
Saya jadi teringat salah satu serial Nanny 911 - sebuah reality show tentang berbagai keluarga yang kesulitan mengatasi anak-anaknya, kemudian dibantu untuk menyelesaikan masalahnya dengan kehadiran seorang nanny / pengasuh anak yang berpengalaman). Melalui acara ini, pesan yang hendak disampaikan selalu sama: seringkali yang menjadi “sumber masalah” bukanlah anak-anak, melainkan orang tuanya sendiri.
Dalam satu satu episode, dikisahkan seorang ayah yang sibuk sekali bekerja hingga tidak bisa meninggalkan pekerjaannya barang sebentarpun. Dia selalu bekerja dimanapun dia berada. Di kantor, di rumah, di restoran, di taman, dan dimana pun ia berada, yang ada di pikirannya adalah bekerja dan bekerja. Sementara anak-anaknya yang masih balita begitu menginginkan ayahnya punya waktu bermain bersama mereka.
Memang, secara fisik, tiap sore ayahnya pulang ke rumah. Namun handphone tidak pernah lepas dari tangannya. Sembari duduk di sebelah anaknya, sang ayah sibuk mengurus pekerjaan lewat handphone. Sembari menemani anaknya main games, sang ayah sibuk sendiri dengan laptopnya dan berusaha menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya. Fisiknya saja yang “pulang dan berada di rumah” namun pikirannya tetap saja ada di LUAR SANA mengurus berbagai pekerjaan penting. Apakah peristiwa ini sepertinya tidak asing di tengah keluarga kita?
Dalam suatu kesempatan saya beserta suami dan anak-anak bepergian keluar kota. Secara tidak sengaja, kami melihat papan iklan dengan tulisan kira-kira seperti ini: “senangnya kalau HP papa low battery”. Segera saja saya dan anak-anak tertawa lepas membaca tulisan iklan tsb. Karena memang itulah yang seringkali diharapkan oleh para istri dan anak-anak, bukan? Kita mengharapkan kehadiran suami dan ayah TANPA handphone mereka. Karena tanpa kita sadari, temuan teknologi yang satu ini bisa membuat relasi antar anggota keluarga jadi terabaikan.
Itu kejadian beberapa tahun silam, dimana handphone benar-benar menyita perhatian orang dewasa. Namun beberapa waktu kemudian, giliran orang tua yang mengeluhkan perilaku anak-anaknya. Hadirnya tab, i-pod, i-pad, dan beragam gadgets lainnya sekarang telah membuat anak-anak dan remaja kita asyik sendiri dengan “dunia mereka”. Ditambah dengan ketidaktahuan orang tua tentang bagaimana menggunakan barang-barang teknologi canggih tsb, akhirnya membuat generasi muda “malas” bicara dengan generasi tua, yang dianggap jadul (jaman dulu) alias ketinggalan zaman.
Susah ngomong sama emak dan engkong, ga nyambung soalnya! Ah, mama ini gimana, masa ga bisa bedakan i-pod sama i-pad? Papa aku ga mau handphone ini, sudah kuno !! Aku mau dibelikan versi yang terbaru dong. Demikian keluhan anak-anak kita.
Sebagai orang tua kita pun mengeluh … Ya ampun, baru juga dibelikan handphone, kok sekarang minta ganti? Di rumah sudah adatab, eh sekarang minta i-pad. Tiap kali keluar versi terbaru yang lebih canggih, generasi muda akan langsung meliriknya dan menganggap gadget yang mereka miliki saat itu sudah ketinggalan zaman. Banyak orang tua mulai merasa kesulitan untuk mengikuti trend teknologi.
PERCEPATANnya luar biasa tingginya. Sepertinya kemajuan teknologi selama 100 tahun terakhir ini jauh lebih pesat dibanding ribuan tahun sebelumnya – yang berjalan dengan sangat lambat, dan gaya hidup relatif menetap selama ratusan tahun. Faktor inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kesenjangan (gap) antar generasi, yang belum pernah terjadi dalam masa-masa sebelum kita ini.
Namun di masa inilah Tuhan menempatkan kita untuk hidup dan membina keluarga kita. Meski ada kemajuan teknologi yang pesat dan terjadi perubahan gaya hidup baik dalam keluarga maupun masyarakat, namun kebenaran Firman Tuhan tetap sama. Tuhan menghendaki kita mewariskan iman percaya kita kepada anak-anak kita dengan setia mengajarkan titah-titah Tuhan yang tak lekang oleh waktu, dari generasi ke generasi. Cara kita mengajarkan kebenaran Firman Tuhan barangkali bisa berubah, namun pesan Firman Tuhan tetap sama.
Saya pernah mendengar sharing seorang ayah yang melaksanakan Family Altar nya (berkumpul bersama istri dan anak-anaknya untuk belajar Firman Tuhan dan saling sharing satu sama lain) di STARBUCKS !! Berhubung si ayah dibesarkan di era 1980an, maka ia masih terbiasa membawa alkitab dalam bentuk “buku”. Anak laki-lakinya yang sudah remaja mengingatkannya, “Papi, ngapain repot bawa-bawa alkitab ke Starbucks, kan sudah ada alkitab di hape papi?”
Kemajuan teknologi tidak bisa kita hindari .. tinggal bagaimana kita memanfaatkan teknologi tsb untuk tetap memberitakan Kerajaan Allah. Pertama-tama bagi keluarga kita, dan juga bagi orang-orang di sekitar kita kemana Tuhan mengutus kita untuk melayani mereka. Kehadiran internet, meskipun mengundang pro dan kontra, dan tidak dapat dipungkiri ada ekses negatifnya, namun internet juga bisa dijadikan alat yang efektif di tangan generasi yang lebih muda untuk menyebarkan tentang kebenaran Firman Tuhan.
Masalahnya bukan di teknologinya, namun siapa ORANG-ORANG yang mampu memanfaatkan teknologi tsb untuk memuliakan Tuhan!
1 Korintus 10:31
“ … jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”
Melakukan sesuatu yang lain – dalam konteks kita saat ini adalah bagaimana kita menggunakan teknologi. Kita dipanggil untuk melakukan semuanya itu untuk kemuliaan Allah!
Inilah tugas dan tantangan kita yang hidup di era digital ini. Bagaimana mempersiapkan anak-anak kita, generasi milenial ini, untuk mewarisi iman percaya kita di dalam Tuhan Yesus dan terus melanjutkan pemberitaan Kabar Baik (Matius 28:18-20) supaya nama Yesus dikenal hingga ke ujung bumi. Amin.
Meilania ( meilania.chen@gmail.com)
Jika melalui tulisan ini Anda merasakan dorongan di hati, mungkin Tuhan sedang mengajak Anda untuk turut ambil bagian.
Kami mengundang Anda dengan rendah hati untuk mendukung pelayanan ini melalui persembahan kasih, sebagai wujud nyata dari kepedulian dan kasih yang Tuhan taruh dalam hidup kita.
Setiap dukungan yang Anda berikan akan menjadi berkat yang berarti bagi banyak jiwa yang rindu mengalami kasih dan pengharapan sejati
Ibu yang Berdoa untuk Anak-Anaknya : Mendoakan Anak atau Mendoakan Keinginan Diri Sendiri?
Writer : Meilania Chen, M. Pd
Mendoakan anak-anak bukanlah perkara yang mudah. Anehnya, yang menjadi masalah seringkali bukanlah anak-anak kita, atau mungkin lingkungan dan keadaan yang sulit, melainkan DIRI KITA sendiri sebagai seorang ibu.
Ada seorang ibu Kristen yang saleh. Anak-anaknya sudah bertumbuh menjadi para pemuda, dan hidup merekapun menjadi kesaksian yang baik bagi orang-orang di sekitar mereka. Sebenarnya ibu ini dan keluarganya hampir tidak memiliki masalah yang berarti. Semua orang yang melihat keluarga ini akan berkata mereka adalah keluarga yang berbahagia.
Namun dalam satu kesempatan, si ibu curhat kepada ibu-ibu lain dalam kelompok doanya, bahwa ia sedang bingung karena anaknya ingin kuliah jurusan tertentu (sebut saja: jurusan seni) sedangkan menurut si ibu, jurusan yang dipilih oleh anaknya tsb bukanlah jurusan yang tepat baginya. Karena ingin menyenangkan hati ibunya, akhirnya si anak meletakkan keinginannya dan menuruti keinginan si ibu untuk kuliah di jurusan yang disetujui oleh ibunya. Selang beberapa tahun, si anak kembali memberanikan diri berbicara kepada ibunya, bahwa keinginannya untuk kuliah di jurusan seni masih belum hilang, malah semakin kuat, dan ia amat sangat berharap agar si ibu bisa merestuinya.
Bukan kebetulan, si ibu waktu itu bersama kelompok doanya sedang membahas tentang “Bagaimana Mengetahui Kehendak Tuhan”. Setelah melewati banyak pergumulan, baik itu dalam doa dan meminta nasihat dari berbagai pihak, akhirnya si ibu merelakan anaknya untuk kuliah di jurusan seni tsb.
Butuh waktu bertahun-tahun bagi si ibu untuk akhirnya menyadari bahwa ternyata selama ini, dia terlalu memaksakan keinginannya (meskipun tujuannya baik) kepada anaknya.
Hal serupa juga terjadi pada banyak ibu yang lain. Dimana para ibu ini MERASA bahwa diri merekalah yang benar dan anaknya yang “salah jalan”. Sehingga, dengan kusyuk mereka terus berdoa selama bertahun-tahun meminta TUHAN “mengubahkan hati anaknya” – sementara Tuhan sebenarnya sedang menunggu waktu yang tepat, agar si ibulah yang SIAP untuk diubahkan hatinya!
Saya pribadi pernah punya pengalaman serupa, namun saya bersyukur tidak perlu melewatkan waktu selama bertahun-tahun untuk menyadari kesalahan saya. Waktu itu, saya baru saja pindah ke Bandung. Anak saya yang kecil sedang dalam persiapan untuk tampil dalam sebuah acara sekolah. Acaranya adalah: setiap anak diminta untuk memakai kostum sesuai dengan cita-citanya. Nah, anak saya memilih untuk menjadi seorang ASTRONOT.
Idenya bagus! Tapi saya berpikir, “Betapa repotnya saya harus membuatkan anak saya kostum seorang astronot. Itu berarti kerja keras berhari-hari, bahkan mungkin berminggu-minggu. Mana ada toko yang jual pakaian astronot anak-anak? Kenapa tidak memilih jadi dokter saja? Kan tinggal beli pakaian dokter, itu lebih mudah!”
Nah, di dalam kelompok doa, saya curhat kepada ibu-ibu rekan doa saya tentang “pergumulan” saya ini, yang tidak mau repot mengurus keperluan anak saya. Saya ingin didoakan agar anak saya bisa “memahami” mamanya yang sibuk ini, agar anak saya bisa “mengerti” kesulitan mamanya, dan agar anak saya tidak minta “yang aneh-aneh”. Tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan saya.
Ternyata, ibu-ibu yang mendoakan saya, justru berdoa agar saya yang BERUBAH! Agar saya sebagai ibu lebih memahami keinginan anak, agar Tuhan menyediakan jalanNya bagi saya untuk mengerti bagaimana caranya menolong anak saya, agar anak saya pada akhirnya nanti bisa menyajikan yang terbaik saat acara sekolah.
Sejenak saya kaget, ingin rasanya saya protes waktu itu dan mengatakan, “Hey! Bukan pokok doa seperti itu yang saya minta tadi!” Tetapi sementara proses doa berlangsung, saya merasakan Roh Kudus bekerja dan melembutkan hati saya untuk siap berubah. Dan saat semua doa selesai dipanjatkan dan kami sama-sama mengucapkan AMIN, saya memandang teman-teman doa saya dengan penuh ucapan syukur. Karena mereka ternyata lebih TAAT kepada pimpinan Tuhan, dan tidak berdoa sekedar “menuruti” request / permintaan saya. Waktu saya tanya kenapa mereka berdoa seperti itu dan bukannya seperti yang saya curhatkan tadi, mereka jujur mengatakan, “Yah .. saat berdoa, itulah dorongan yang kami rasakan, berdoa agar si ibu yang diubahkan oleh Tuhan, bukan anaknya!”
Pulang dari kelompok doa, saya bertekad untuk segera belanja demi keperluan kostum anak saya. Saya mulai cari jaket dengan bahan parasit, untuk nanti dijahit dengan kertas silver, cari helm sepeda motor untuk disulap jadi helm astronot, cari sepatu boots – nantinya juga dilapis dengan kertas silver agar kesan baju astronotnya lebih muncul, sarung tangan, dan bahkan saya cari gambar-gambar dari internet supaya benar-benar baju astronot anak saya mirip aslinya!
Setelah kerja keras selama beberapa hari, dan dengan bantuan banyak pihak, hasilnya memang luar biasa! Anak saya benar-benar tampil seperti seorang astronot. Bukan dia saja yang bangga, saya pun bangga sekali saat anak saya tampil dan mendapatkan juara sebagai kostum yang paling kreatif! Itu adalah momen yang menyenangkan, yang berkesan, dan tidak terlupakan, baik bagi anak saya maupun bagi saya sendiri. Sebuah pengalaman yang mengubahkan cara pandang saya tentang apa artinya “memohonkan pokok-pokok doa”.
Saya belajar dari pengalaman tsb di atas, bahwa pertama-tama yang Tuhan inginkan adalah: kita, sebagai ibu, yang harus terlebih dulu SIAP untuk diubahkan oleh Tuhan. Saat kita datang kepada Tuhan dalam doa-doa kita, lupakan sejenak tentang berbagai hal yang menurut kita adalah “masalah”, yang di dalam pandangan kita adalah “ini anak-anak perlu didoakan untuk berubah” – letakkan itu semua!
Karena sebenarnya yang paling penting dalam mendoakan anak-anak adalah, bukan agar masalah yang tengah dihadapi tsb hilang atau diangkat oleh Tuhan, namun agar di tengah masalah yang Tuhan ijinkan terjadi, kita sebagai ibu SIAP untuk diubah, dibentuk, diarahkan oleh Tuhan terlebih dahulu agar dapat menjadi “jawaban” bagi masalah yang tengah dihadapi oleh anak-anak kita tsb.
Menginginkan yang Baik bagi Anak, Salah Tidak?
Setiap ibu pastilah menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, bukan? Tetapi yakinkah kita, bahwa apa yang kita anggap baik tsb adalah hal yang benar di mata Tuhan?
Baru-baru ini saat saya memimpin PA Wanita di GII Mekar Wangi, ayat Firman Tuhan yang kami bahas adalah dari Matius 20:20-28, yaitu tentang “Permintaan IBU Yakobus dan Yohanes”. Dalam perikop ini diceritakan bahwa sang ibu, sengaja mendatangi Tuhan Yesus, dan sambil sujud menyembah kepada Yesus, ibu Yakobus dan Yohanes ini mengajukan sebuah permohonan. Demikian kata si ibu: “Berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam KerajaanMu, yang seorang di sebelah kananMu dan yang seorang lagi di sebelah kiriMu.”
Apakah ini permintaan yang BAIK? Iya, jelas! Ibu mana yang tidak ingin anaknya berada di tempat terhormat? Di sebelah kiri dan di sebelah kanan Tuhan Yesus. Ibu mana yang tidak ingin anaknya suatu hari kelak menjadi orang yang terpandang, menjadi pemimpin, menjadi orang yang berpengaruh. Tentu setiap ibu menginginkan anaknya kelak bisa berhasil, bukan?
Tetapi bagaimana reaksi Tuhan Yesus? Melihat ke-10 muridNya yang lain bersikap reaktif dan marah kepada Yakobus dan Yohanes, Tuhan Yesus memanggil mereka semua dan menasihati agar barangsiapa yang ingin menjadi besar, hendaklah ia menjadi pelayan, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka, hendaklah ia menjadi hamba.
Nah, saya yakin seyakin-yakinnya, hampir tidak ada ibu-ibu yang berdoa agar anak-anaknya kelak menjadi seorang pelayan atau hamba, bukan? Padahal inilah yang diajarkan oleh Tuhan Yesus!
Jadi, apa artinya ini? Salahkah kita sebagai ibu menginginkan yang BAIK bagi anak-anak kita? Salahkah bila kita sebagai ibu mengharapkan agar kelak anak-anak kita dapat menjadi orang yang “besar” dan “terkemuka”, “kaya” dan “terhormat”, “pandai” dan “disegani”, serta sederetan kriteria sukses lainnya?
Baik menurut ukuran dunia, belum tentu BENAR dalam pandangan Tuhan.
Di sinilah seringkali letak kesalahan para ibu yang tekun mendoakan anak-anaknya. Kita sering lupa untuk berdoa agar anak-anak kita dapat menjadi SEPERTI YANG TUHAN INGINKAN. Kita lebih seriing berdoa agar anak-anak kita menjadi SEPERTI YANG SAYA (IBUNYA) INGINKAN. Bila keinginan hati kita meruppakan isi doa kita setiap hari kepada Tuhan, jangan-jangan kita sedang menjauhkan anak-anak kita dari rencana Tuhan yang indah. Jangan-jangan justru kitalah, para ibu, yang sedang menghalang-halangi Tuhan menggenapkan rencanaNya yang indah bagi anak-anak kita.
Mengapa kita lebih sibuk berdoa agar anak kita diberi kepandaian, diberi nilai yang bagus, diberi teman-teman yang tidak nakal, diberi guru yang sabar, diberi kedudukan yang baik, diberi kelancaran dalam usaha, diberi jodoh seperti yang kita inginkan, singkatnya, minta diberi segala hal yang BAIK – menurut pandangan kita, namun sulit sekali bagi kita untuk berdoa MENYERAHKAN anak kita sepenuhnya ke dalam Tangan Tuhan?
Biarlah Tuhan yang PIMPIN, Tuhan yang ATUR, Tuhan yang JAGAI anak-anak kita. Bukankah lebih aman dan lebih baik bila anak-anak kita ada dalam lindungan Tangan Tuhan?
Doa yang Penuh Kuasa
Setiap ibu Kristen yang baik pastilah senantiasa mendoakan anak-anaknya. Tapi mengapa sepertinya kebanyakan ibu berdoa tanpa kuasa? Apakah mungkin kita berdoa hanya karena kewajiban? Atau mungkin kita berdoa dengan sikap berputus asa?
Cobalah cek beberapa “penghalang” berikut ini – adakah kita masih terjebak di dalamnya, karena “penghalang-penghalang” inilah yang membuat kita tidak memiliki KUASA saat mendoakan anak-anak kita.
1. Kekuatiran
Kita dapat menghalangi apa yang Allah mampu lakukan dalam hidup anak kita jika kita tetap menggenggam mereka dalam tangan kita dan berusaha mengasuh mereka sendiri. Bila kita tidak yakin bahwa Allah mengatur kehidupan anak-anak kita, kita akan dikuasai oleh ketakutan. Dan satu-satunya cara untuk memastikan bahwa Allah yang sepenuhnya mengatur hidup mereka dalah dengan melepaskan cengkeraman kita dan membiarkan DIA memasuki hidup mereka sepenuhnya.
Coba renungkan (dan bila mungkin diskusikan bersama para ibu yang lain), contoh-contoh praktis apa yang dimaksud dengan “menggenggam / mencengkeram” anak-anak dalam tangan kita sendiri.
Contoh: Seorang ibu yang memiliki bayi tidak bisa tidur di malam hari karena kuatir bayinya akan tiba-tiba sesak nafas atau berhenti bernafas, padahal bayinya baik-baik saja dan tidak dalam keadaan sakit. Seorang ibu yang tidak mengijinkan anaknya belajar naik sepeda karena kuatir si anak akan terjatuh. Seorang ibu melarang anaknya kuliah di luar kota karena ia takut hal-hal buruk akan terjadi padanya.
Nah, cobalah daftarkan contoh-contoh lain yang mungkin Anda alami saat ini sebagai ibu.
____________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Lalu, apa yang dimaksud dengan “melepaskan genggaman / cengkeraman” kita dan menyerahkannya kepada Tuhan?
Yaitu, dengan sadar melakukan bagian / peran kita dengan bertanggung jawab, selanjutnya menyerahkan kekuatiran kita kepada Tuhan.
Contoh: ibu yang memiliki bayi tsb di atas, yang perlu dilakukannya adalah memastikan lingkungan tempat tidur bayinya aman. Ibu memastikan anaknya belajar bersepeda dengan pengawasan yang baik dan di tempat yang cukup aman (bukan di jalan raya, misalnya). Ibu memang perlu mempertimbangkan soal kesiapan dan kemandirian anaknya namun ia juga harus membantu anaknya untuk hidup mandiri.
Bila kita menyerahkan anak-anak kita ke dalam tangan Bapa dan mengakui bahwa DIAlah yanag menguasai hidup mereka dan hidup kita, baik kita maupun anak-anak kita akan merasa kedamaian yang lebih besar. Kita toh tidak mungkin mendampingi anak kita dimana-mana dan sepanjang waktu. Namun Allah bisa !! Kita tidak mungkin juga tahu semuanya tentang anak kita. Tetapi Allah tahu !! Jadi, menyerahkan anak-anak kita ke tangan Allah merupakan tanda IMAN kita dan kepercayaan kita kepadaNYA. Dan inilah langkah awal untuk mengubah hidup mereka. Doa untuk anak kita dimulai dengan: PENYERAHAN.
1 Petrus 5:7 – serahkanlah segala kekuatiranmu kepadaNya, sebab IA yang memelihara kamu.
2. Ketaatan kepada Firman
Banyak orang salah berdoa. Doa dianggap sebagai jampi-jampi untuk mewujudkan sebuah keinginan. Doa kadang juga dianggap sebagai syarat untuk dapat mencapai tujuan tertentu. Doa seringkali identik dengan meminta-minta / memohon-mohon dari “yang tidak berkuasa” mengajukan permohonan / pertolongan kepada “sang penguasa”. Apabila ini yang menjadi filsafat doa kita, maka sia-sialah kita berdoa.
Cobalah renungkan, atau diskusikan bersama dengan para ibu lainnya:
Apakah doa itu identik dengan meminta-minta atau memohon-mohon?
Apakah doa kita panjatkan dengan tujuan agar keinginan kita tercapai?
Coba perhatikan beberapa ayat di bawah ini:
Mazmur 34:18 “Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar …”
Mazmur 66:18 “Seandainya ada niat jahat … tentulah TUHAN tidak mau mendengar.”
Amsal 15: 29 “TUHAN itu jauh daripada orang fasik, tetapi doa orang benar didengarNya.”
Jadi, ada perbedaan di sini. Tidak semua doa diindahkan atau didengar oleh TUHAN. Hanya doa orang-orang benar lah yang didengarNya. Orang yang benar adalah orang yang hidupnya takut akan Tuhan, yang senantiasa memegang perintah-perintah Tuhan dan mentaatiNya dalam hidupnya sehari-hari.
Nah, apakah kita sudah berada dalam golongan “orang-orang benar” ini? Orang yang cinta akan Firman Tuhan dan senantiasa hidup berpaut kepada ketetapan-ketetapan TUHAN?
“Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.” Yakobus 5:16b
Kesimpulan
Berdoa bukan meminta-minta / memohon-mohon agar Tuhan mengikuti / menuruti / mengabulkan keinginan kita. Sebaliknya, berdoa berarti kita minta Tuhan MENGUBAH kita (dan orang-orang lain yang kita doakan) agar selaras dengan kehendakNya, sejalan dengan tujuanNya, seiring dengan kehendakNya. Karena rancanganNya itulah yang terbaik bagi hidup kita, bukan?
“Sebab AKU ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKU mengenai kamu, demikianlah Firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” Yeremia 29:11
Soli Deo Gloria.
Meilania
Meilania (meilania.chen@gmail.com)
Tulisan ini pernah dimuat di : Buletin Euangelion, GII Hok Im Tong
Jika melalui tulisan ini Anda merasakan dorongan di hati, mungkin Tuhan sedang mengajak Anda untuk turut ambil bagian.
Kami mengundang Anda dengan rendah hati untuk mendukung pelayanan ini melalui persembahan kasih, sebagai wujud nyata dari kepedulian dan kasih yang Tuhan taruh dalam hidup kita.
Setiap dukungan yang Anda berikan akan menjadi berkat yang berarti bagi banyak jiwa yang rindu mengalami kasih dan pengharapan sejati
Janji Kasih Penyertaan Tuhan di balik Keluhan Awal Tahun
Writer : Jefferson, M.Sc, B.Sc
“Urghhhh, kenapa sih aku mengiyakan buat ngajar minggu ini?”
Aku sedang duduk di depan laptop, menatap draf naskah pelajaran untuk pelayanan komisi remaja pada Minggu kedua tahun ini yang masih kosong. Ketika pertama melihat temanya, aku tidak khawatir akan kesulitan mempersiapkan karena terdengar mudah: “You Are Mine”, “Kamu Milikku”, dari Yesaya 43:1–7. Tapi, setelah kubaca nasnya beberapa kali, aku justru malah merasa buntu, frustrasi dan tidak ingin mengajar.
Coba deh, kamu baca beberapa ayat ini:
1 “Tetapi sekarang, beginilah firman TUHAN
yang menciptakan engkau, hai Yakub,
yang membentuk engkau, hai Israel:
‘Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau,
Aku telah memanggil engkau dengan namamu,
engkau ini kepunyaan-Ku. […]
6 Aku akan berkata kepada utara: Berikanlah!
dan kepada selatan: Janganlah tahan-tahan!
Bawalah anak-anak-Ku laki-laki dari jauh,
dan anak-anak-Ku perempuan dari ujung-ujung bumi,
7 semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku
yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku,
yang Kubentuk dan yang juga Kujadikan!’”
Bukannya makin paham, aku malah bertanya-tanya: “Kalau aku aja gak ngerti perikopnya, gimana nanti aku jelasin ke anak-anak remajaku?”
Dalam hati, aku sempat ingin menyerah dan bertukar jadwal dengan rekan lain. Tapi, puji Tuhan, Roh-Nya mengandaskan hasratku untuk mangkir. Justru, di tengah kebingunganku, Dia membukakan mataku pada harta karun yang tersembunyi dalam nas ini. Apa yang pada awalnya terasa seperti beban berat bagiku Allah jadikan berkat, pertama-tama untuk jemaat remaja di gerejaku GKY Singapore, dan sekarang untukmu yang membaca tulisan ini.
Untuk mempermudah, aku membagi perikop di atas menjadi tiga bagian:
Pesan utama dari Allah (ay. 1);
Janji-janji yang mengikuti pesan tersebut (ay. 2, 3b–6); dan
Alasan di balik pesan ini (ay. 3a, 7).
“Allah adalah satu-satunya penebus”
Yuk kita simak lagi kata-kata pembuka dari nas di atas: “Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau… engkau ini kepunyaan-Ku” (ay. 1).
Pesan Allah ini—karena Ia telah menebus kita dan telah menjadikan kita milik-Nya, maka kita tidak perlu takut—mungkin terdengar biasa saja bagi kita. Itu karena kita sering menganggap bahwa pesan dalam Alkitab ditujukan langsung kepada pendengar/penerima di masa kini. Padahal, sebelum melihat apa yang bisa kita pelajari dari nas Alkitab, kita perlu mengetahui lebih dulu siapa audiens dan konteks asli dari teksnya.
Jadi, siapa audiens asli dari Yesaya 43:1–7? Jawabannya adalah Yakub/Israel, bangsa yang kisah pembentukannya oleh Tuhan kita kenal baik dalam Perjanjian Lama.
Tapi, mengapa Allah memerintahkan umat pilihan-Nya untuk tidak takut? Di akhir pasal 42, dalam perikop sebelumnya, Yesaya menggambarkan Israel sebagai “hamba yang buta dan tuli” (Yes. 42:18–19). Mereka pernah setia kepada Tuhan di masa pemerintahan raja-raja seperti Daud, Salomo, dan Hizkia, tetapi perlahan-lahan mulai melanggar perintah-Nya dan melacurkan diri kepada berbagai berhala (ay. 17). Alhasil, mereka menjadi serupa dengan ilah-ilah mereka yang buta dan tuli (bdk. Mzm. 115:4–7). Dan tidaklah heran kalau Tuhan memperingatkan umat Israel bahwa Ia akan menjadikan mereka “suatu bangsa yang dijarah dan dirampok” (ay. 22) lewat pembuangan ke Babel (ay. 24–25), yang benar-benar terjadi pada abad ke-6 sebelum Masehi.
Mengetahui latar belakang ini membuatku keheranan dengan firman Tuhan dalam nas kita. Bukannya melanjutkan dengan penghukuman yang pantas untuk dosa bangsa Israel, Allah justru menyatakan bahwa Ia telah menebus dan memanggil bangsa Israel dengan nama mereka, sebuah tanda keintiman (ay. 1)! Bayangkan: mereka telah memberontak, berpaling dari Tuhan, dan menyembah ilah-ilah lain—namun Tuhan tetap mengklaim mereka sebagai milik-Nya! Bahkan, Dia menjanjikan umat Israel penyertaan dan perlindungan-Nya (ay. 2), bangsa-bangsa lain sebagai ganti penebusan mereka (ay. 3–4), serta menjamin keturunan mereka akan dikumpulkan dari seluruh penjuru bumi (ay. 5–7).
Kalau kita ada di posisi Tuhan, apakah kita masih mau menerima kembali orang yang sudah mengkhianati kita? Kurasa tidak. Tapi Ia bukan seperti kita.
Mengapa Allah tetap setia kepada bangsa yang terus mengecewakan-Nya? Ayat 3a dan 7 menjawab: “Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, Yang Mahakudus, Allah Israel, Juruselamatmu. … semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan yang juga Kujadikan!”
Kedua ayat ini menyatakan TUHAN (nama pribadi-Nya dalam Alkitab) sebagai Allah yang menciptakan bangsa Israel dan keturunan mereka untuk kemuliaan-Nya. Lebih lagi, Ia ingin dan telah menyelamatkan mereka! Allah tahu seluk-beluk kenajisan pemberontakan bangsa Israel, namun Ia tetap memanggil mereka milik-Nya.
Maka tepatlah Alkitab Terjemahan Baru memberikan judul nas ini “Allah adalah satu-satunya penebus”. Sebab keselamatan bangsa Israel tidak bergantung pada ketaatan atau kebaikan mereka, melainkan pada kesetiaan TUHAN Allah pencipta mereka.
Kita di masa sekarang pun adalah kepunyaan-Nya
Sampai sejauh ini, kita mungkin jadi bertanya, “Kalau perikop ini ditujukan untuk umat Israel, lantas apa yang bisa aku pelajari darinya?”
Apakah frasa “anak-anak [Allah]” dalam Yesaya 43:6 terdengar akrab bagimu? Seharusnya begitu, sebab istilah ini dipakai Perjanjian Baru untuk menyebut mereka yang menerima dan mengikuti Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka (e.g., Yoh. 1:12, Gal. 3:26, Rom. 8:14–17).
Satu minggu sebelum pelayananku di ibadah remaja, rekanku mengajar dari Efesus 3:1–13. Melihat koneksi perikop Minggu itu dengan Minggu sebelumnya, aku mengajak anak-anak remajaku membaca ayat 6, yang menyatakan hubungan ini dengan gamblang: “Rahasia itu adalah bahwa melalui Injil orang-orang kafir menjadi sesama ahli waris [dari bangsa Israel], sesama anggota dari satu tubuh, dan sama-sama mengambil bagian dari janji dalam Yesus Kristus” (AYT).
Tapi, bagaimana bisa kita yang bukan keturunan umat Israel menjadi kepunyaan Allah dalam Yesus Kristus? Beberapa ayat dalam perikop sebelumnya, Efesus 2, menjelaskan demikian:
11 Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu – sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya ”sunat”, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, – 12 bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia. 13 Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu ”jauh”, sudah menjadi ”dekat” oleh darah Kristus.”
Sebagaimana keselamatan umat Israel tidak bergantung pada ketaatan mereka, melainkan pada kesetiaan TUHAN Allah pencipta mereka, kita pun diselamatkan dan ditebus oleh darah Kristus yang adalah bukti kasih setia TUHAN kepada manusia (Yoh. 3:16), bukan kekuatan maupun kebaikan kita sendiri. Kita tidak berbeda dari bangsa Israel karena kita pun berdosa dan menyembah berbagai berhala di masa kini, “tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia” (Ef. 2:12). Tetapi, oleh darah Yesus, sekarang kita adalah bagian dari kerajaan dan umat-Nya (ay. 13).
Rekanku merangkum pelajaran seminggu sebelumnya begini: “Kita diterima sebagai bagian kerajaan Allah karena kasih karunia TUHAN, bukan karena siapa kita”. Beranjak dari poin rekanku, aku merangkum intisari firman yang kusampaikan begini: Bangsa Israel dan kita adalah milik-Nya karena kasih karunia TUHAN, bukan karena siapa kita.
Karena kita adalah milik Tuhan, kita lewat Injil Kristus turut menerima bagian dalam janji-Nya di Yesaya 43:1–7 kepada bangsa Israel dan mematuhi satu-satunya perintah dalam perikop tersebut: “Janganlah takut”.
Penerapan dalam kehidupan: “Janganlah takut”
Mengapa Allah memulai janjinya dalam perikop di atas dengan perintah, “Janganlah takut”?
Bayangkan jika kamu merusak barang kesayangan ayahmu, apa yang akan kamu rasakan? Kemungkinan besar, kamu akan takut bahwa dia akan marah padamu, bahwa dia tidak akan pernah memaafkanmu dan mengusirmu dari rumah selamanya.
Ketakutan tampaknya menjadi respons alamiah ketika kita tidak taat dan berdosa terhadap Tuhan kita, terutama ketika kita tahu bahwa Dia akan mengasingkan kita ke bangsa yang tidak mengenal-Nya; mungkinkah Dia meninggalkan kita di sana selamanya?
Ketakutan inilah yang mungkin bangsa Israel rasakan ketika mendengar/membaca Yesaya 42:18–25. Kita pun mungkin merasakan ketakutan yang sama sebagai umat Tuhan di masa kini, di tengah berbagai dosa dan penyembahan berhala yang merajalela. Berapa kali kita telah mengakui dosa-dosa yang sama di hadapan Tuhan, lagi dan lagi, sehingga kita jadi bertanya-tanya, apakah Tuhan masih akan menerima kita kembali?
Makanya Allah memerintahkan baik bangsa Israel maupun kita umat-Nya di masa kini untuk tidak takut di Yesaya 43:1. Karena Ia telah menebus kita dengan darah Yesus (Ef. 2:11–13), memanggil kita dengan nama kita, dan menyebut kita milik-Nya (Yes. 43:1), kita tidak perlu takut. Ia yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi menyerahkan Kristus bagi kita semua, bagaimana mungkin Ia bersama-sama dengan Anak-Nya tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita (Rom. 8:32)?
Harta karun dalam nas ini, yang kurenungkan dan olah untuk dibagikan kepada anak-anak remajaku dan kamu, adalah anugerah Allah yang menyertaiku dalam menghadapi berbagai pergumulanku saat ini. Pekerjaanku tidak tetap karena bergantung pada pembaruan kontrak tahunan, kami di kemajelisan gereja sedang menggumulkan bagaimana kami sebagai satu jemaat bisa semakin bertumbuh memuridkan dan bermisi, dan tahun ini aku tepat satu tahun menjelang umur 30 sehingga ada banyak tekanan sosial yang mengelilingiku.
Di tengah menjalani semuanya itu, aku melihat dan merasakan kehadiran Tuhan seperti yang Yesaya 43:1–7 nyatakan. Menghadapi berbagai ketakutan dan ketidakpastian, aku—kita—berjumpa dengan TUHAN yang sejati dan penuh kasih yang dapat kita percayai. Jika salib Kristus terasa abstrak bagimu, paling tidak kamu telah menyaksikan apa yang Kristus telah kerjakan dalam pengalamanku ini: Ia mengubah keluhanku menjadi berkat untukku dan kita semua.
Kristus telah menyelamatkan kita, Ia telah memanggil kita dengan nama kita, kita adalah milik-Nya dan Ia menyertai kita (Yes. 43:5), maka “janganlah takut.”
Kasih karunia Yesus Kristus menyertai kamu, soli Deo gloria.
Tulisan ini pernah dimuat di : Warungsatekamu
Jefferson, M.Sc, B.Sc
Jika melalui tulisan ini Anda merasakan dorongan di hati, mungkin Tuhan sedang mengajak Anda untuk turut ambil bagian.
Kami mengundang Anda dengan rendah hati untuk mendukung pelayanan ini melalui persembahan kasih, sebagai wujud nyata dari kepedulian dan kasih yang Tuhan taruh dalam hidup kita.
Setiap dukungan yang Anda berikan akan menjadi berkat yang berarti bagi banyak jiwa yang rindu mengalami kasih dan pengharapan sejati
Menentukan Jurusan Kuliah: Pilihanku atau Pilihan Tuhan?
Writer : Jefferson, M.Sc, B.Sc
Ketika dulu masih berstatus mahasiswa jurusan Environmental Earth Systems Science (Ilmu Lingkungan Hidup) di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, ada sekumpulan pertanyaan yang sering dilontarkan kepadaku baik oleh kerabat maupun teman, “Kok bisa ambil jurusan itu? Apa saja yang dipelajari? Kalau sudah lulus bekerja jadi apa?” Awalnya aku jengkel karena terus ditanyakan hal yang sama, tapi lambat laun aku menyadari bahwa memang tidak banyak orang—terutama dari Indonesia—yang tahu tentang keberadaan bidang ini, apalagi mengambilnya.
Dalam tulisan ini, aku akan membahas dengan singkat mata kuliah apa saja yang kupelajari sambil menceritakan bagaimana dan mengapa aku bisa mengambil jurusan itu. Seperti yang bisa kamu duga dari judul di atas, keputusanku untuk belajar Ilmu Lingkungan Hidup sangat berkaitan dengan kehendak Tuhan, dalam artian aku memahami pilihanku sebagai pilihan yang Tuhan ingin aku ambil.
4 cara Tuhan berkehendak dan memimpin umat-Nya
Apa maksudnya? Sebelum menceritakan kisahku lebih lanjut, aku ingin mengajakmu untuk memahami terlebih dulu jenis-jenis kehendak Tuhan dalam Alkitab. Dalam artikelnya, John Piper membedakan empat macam kehendak Tuhan, yang kuringkas sebagai berikut:
Decree / Ketetapan Allah yang berdaulat. Lewat jenis kehendak ini, Allah mengerjakan segala sesuatu yang telah Ia rencanakan tanpa sepengetahuan maupun andil kita sama sekali sehingga semua unsur ciptaan-Nya berada dan bekerja sesuai dengan desain-Nya. Contoh dari dekrit Allah adalah peristiwa pemenjaraan Paulus dan Silas yang menuntun kepada pertobatan kepala penjara Filipi dan seisi rumahnya (Kis. 16:23–24). Ketetapan Allah melibatkan ketiga jenis kehendak lainnya dan pasti terjadi (bdk. Ayb. 42:2).
Direction / Arahan mencakup perintah-perintah dan ajaran-ajaran dari Tuhan yang tertulis dalam Alkitab. Jenis kehendak ini mengarahkan kita secara spesifik tentang apa yang (tidak) boleh kita lakukan, seperti dalam Sepuluh Perintah Allah (Kel. 20) maupun Khotbah di Bukit (Mat. 5–7).
Discernment / Pemahaman berlaku untuk keputusan-keputusan yang harus kita buat yang tidak tercatat dengan spesifik dalam Alkitab seperti jurusan kuliah dan yayasan mana yang patut kita dukung selama wabah COVID-19. Mentaati jenis kehendak ini memerlukan kepekaan dalam mengaplikasikan kebenaran Alkitab untuk menanggapi situasi yang dihadapi dengan tepat. Paulus mendeskripsikannya dalam Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna”. Terhadap banyak pilihan dalam kehidupan kita, Allah tidak memberikan arahan yang spesifik, tetapi oleh Roh Kudus memperbaharui budi kita melalui disiplin rohani—seperti saat teduh dan doa—sehingga kita dapat memahami dan membuat keputusan-keputusan yang paling memuliakan-Nya, memberikan kita sukacita-Nya, dan memberkati orang lain dan dunia ini.
Declaration / Deklarasi adalah yang paling jarang ditemui di masa sekarang. Lewat jenis kehendak ini Allah mendeklarasikan langsung kepada kita apa yang harus kita lakukan, seperti yang dialami oleh Filipus dalam Kis. 8:26 dan 8:29.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa “kehendak Tuhan” yang kumaksud di awal adalah jenis ketiga, discernment / pemahaman. Aplikasi praktis dari jenis kehendak Allah inilah yang akan kubahas untuk sisa artikel dalam konteks memilih jurusan kuliah. Dalam praktiknya, kamu akan menemukan bahwa langkah-langkah tersebut berlaku tidak hanya untuk memilih jurusan tapi juga dalam menentukan berbagai keputusan yang Tuhan tidak perintahkan secara spesifik dalam Alkitab.
Bisakah kamu menebak langkah pertamanya? Petunjuk: langkah itu sempat dibahas dalam penjelasan jenis kehendak ketiga.
#1: Dalami disiplin rohani hingga Roh Kudus memperbaharui akal budi kita
Kuharap kamu tidak bosan ketika aku sekali lagi membicarakan tentang disiplin rohani, terutama doa dan pembacaan Firman, sebagai salah satu poin dalam tulisan. Meskipun ada disiplin-disiplin rohani lain seperti penatalayanan dan puasa, doa dan merenungkan Firman adalah dua disiplin paling mendasar yang melaluinya kita dapat mengenal identitas TUHAN yang berdaulat atas hidup kita. Melalui perjumpaan dengan Allah setiap harinya, kita memberikan setiap inci diri kita untuk diperiksa, diajar, dan dikoreksi oleh Roh Kudus lewat Firman-Nya sehingga akal budi kita diperbaharui (Rm 12:2b). Kita tidak lagi ingin menjadi serupa dengan dunia (Rm. 12:2a); sebaliknya, kita ingin semakin menjadi serupa dengan Tuhan Yesus (Rm. 8:29) yang dapat membedakan “apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna” (Rm. 12:2c). Dengan kata lain, hidup kita benar-benar diperbaharui oleh Roh Kudus sehingga kita mencerminkan Allah yang kudus dan baik dan sempurna dalam semua aspek kehidupan, termasuk pengambilan keputusan. Begitu radikalnya pembaharuan itu sehingga tidak ada satu inci pun dalam kehidupan kita yang tidak diperbaharui Roh Kudus.
Mengapa langkah ini sangat penting? John Piper dalam khotbahnya menjelaskan, “[K]arena 95% dari apa yang kamu lakukan sekarang kamu lakukan secara spontan [mengikuti kehendak daging yang berdosa]. Kalau kamu bukan ciptaan yang baru [yang akal budinya telah diperbaharui Roh Kudus], maka dari hati akan keluar hal-hal [keputusan-keputusan] yang salah.” Bagaimana kita dapat mengambil keputusan-keputusan besar yang sesuai dengan kehendak Allah? Dengan pertama-tama mengambil keputusan-keputusan kecil yang sesuai dengan kehendak-Nya.
Aku percaya bahwa keputusanku untuk mengambil jurusan Ilmu Lingkungan Hidup di NTU dimulai sejak aku memutuskan untuk percaya kepada Yesus sebagai Tuhan atas hidupku. Kalau Tuhan tidak membawaku kembali kepadanya sejak kelas 10 dan mendidikku dalam disiplin-disiplin rohani, kurasa aku akan terus mengambil keputusan-keputusan yang salah dengan motivasi-motivasi yang salah: tidak ingin membantu teman-teman yang kesulitan dengan pelajaran, menjadi arogan ketika mewakili sekolah mengikuti olimpiade matematika tingkat provinsi, malas-malasan dan menggerutu saat mempersiapkan diri untuk mengikuti tes masuk NTU yang materinya jauh lebih sulit dari Ujian Nasional, dan hal-hal lainnya yang serupa dengan dunia ini. Puji Tuhan, lewat perjumpaan dengan Tuhan Yesus dalam Firman-Nya, doa, kelompok kecil, dan pelayanan, Roh Kudus terus memperbaharui budiku sehingga aku dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendak-Nya.
Pembaharuan budi tidak hanya menolong kita untuk tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tapi juga membantu kita untuk mengenal lebih dalam satu pihak penting dalam pengambilan keputusan kita.
#2: Diri sendiri juga perlu kita kenali
Dalam merenungkan berbagai implikasi dari kehendak discernment / pemahaman Tuhan, aku mengamati bahwa keputusan-keputusan yang berhubungan dengannya sedikit banyak didominasi oleh hal-hal yang bersifat pribadi. Di satu sisi, Tuhan telah memberikan panduan umum terhadap keputusan yang harus kita ambil dalam jenis kehendak ketiga ini: “apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna”, yaitu prinsip-prinsip dalam Alkitab yang bisa kita temui dalam kehendak direction / arahan Allah. Di sisi lain, selama keputusan itu dibuat mengikuti panduan Firman, kita dibebaskan untuk membuat keputusan sesuai dengan preferensi kita masing-masing. Dengan kata lain, pengenalan yang baik akan diri sendiri merupakan kunci keberhasilan dari langkah ini.
Berkenaan dengan pilihan jurusan maupun karir, aku akan menanyakan dua pertanyaan di bawah kepada diriku sendiri dan orang-orang lain yang mengenalku dengan dekat sebelum mengambil keputusan:
Kelebihan apa saja yang telah Tuhan berikan kepadaku yang bisa Dia pakai untuk paling memuliakan-Nya dan memberkati sesama dan dunia?
Bidang studi atau topik apa yang paling membebani hati dan pikiranku?
Sebenarnya orangtuaku telah mengarahkanku sejak masuk SMA untuk mengambil jurusan Teknik Sipil dengan alasan minat dan bakatku yang (waktu itu) cukup besar di matematika. Karena masih tidak tahu menahu tentang dunia perkuliahan, aku mengiyakan saja. Tetapi begitu naik ke kelas 12 dan mulai mempersiapkan diri untuk tes masuk NTU, aku jadi mempertanyakan arahan itu. Benarkah kuliah di jurusan Teknik Sipil adalah keputusanku sendiri, atau keputusan orangtuaku? Aku mulai berdoa lebih keras kepada Tuhan tentang hal ini dan menanyakan dua pertanyaan di atas kepada diriku sendiri.
Aku tidak mencatat proses pencarian jawabanku waktu itu dengan terperinci, tapi kira-kira jawaban yang kudapat adalah demikian: aku ingin melihat dan memahami dunia yang lebih luas, gambaran besar dari proses-proses yang terjadi di dunia. Aku tidak puas hanya belajar tentang rumus-rumus IPA maupun menghafal teori-teori IPS di ruangan kelas. Aku ingin terjun ke dunia di luar sana, melihat apa yang terjadi, dan memberikan kontribusi unikku yang menyatakan kemuliaan dan kebenaran Allah kepada dunia. Memakai istilah yang baru kuketahui belakangan, jurusan idealku adalah jurusan yang interdisipliner.
Sayangnya, NTU tidak menawarkan jurusan yang demikian, pada awalnya. Sekitar sebulan setelah mengikuti tes masuk di pertengahan Januari 2014, NTU mengumumkan peluncuran jurusan Ilmu Lingkungan Hidup di tahun ajaran 2014/2015. Awalnya aku tidak berminat sama sekali, tapi setelah berkali-kali disuruh orangtua untuk melihat-lihat jurusan ini lebih lanjut, akhirnya aku membuka brosur elektronik yang NTU kirimkan. Aku langsung tertarik dengan jurusan ini. Di tiga semester pertama, kami mempelajari sains dasar lingkungan hidup—seperti Ekologi Dasar, Geologi, dan Antropologi Lingkungan—sebelum mengambil salah satu spesialisasi di semester keempat: Ekologi, Geosains, atau Society and the Environment (Masyarakat dan Lingkungan). Spesialisasi yang terakhir sangat cocok dengan minatku karena mendalami perkembangan dan dinamika yang terjadi antara komunitas manusia dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah mendoakannya di hadapan Tuhan bersama dengan teman-teman di gereja dan keluarga, aku mengirimkan dokumen-dokumen tambahan kepada NTU untuk melamar ke jurusan Ilmu Lingkungan Hidup.
Dunia ini berkata, “Ikutilah hatimu,” tetapi Tuhan berkata, “Ikutilah hatimu ketika kamu telah mempersembahkan dirimu sepenuhnya sebagai persembahan yang hidup kepada-Ku” (Rm. 12:1). Sebab hanya orang-orang yang telah diselidiki dan hatinya telah dikenal oleh Tuhanlah yang akan dituntun-Nya di jalan yang kekal (Mzm. 139:23–24).
#3: Dalam doa, serahkan keputusan kita kepada Tuhan dan maju
Tanpa sengaja aku telah menyebutkan langkah terakhir ini di beberapa kalimat sebelumnya. Ya, kalau kita merasa sudah membuat keputusan yang sejalan dengan prinsip-prinsip dalam Firman Tuhan dan preferensi kita, serta meminta pendapat yang lebih objektif dari orang lain, tidak ada lagi yang dapat kita lakukan selain menyerahkan keputusan itu ke dalam tangan-Nya dan melangkah maju dalam doa. Dalam setiap langkah ke depan, janji Tuhan dalam Mazmur 32:8 adalah pilar penopang yang teguh, “Aku akan mengajar dan mengarahkanmu di jalan yang harus kamu jalani, Aku akan menasihatimu dengan mata-Ku yang tertuju kepadamu.” Sesederhana itu.
Itulah yang kulakukan dalam tahap-tahap berikutnya selama mengikuti proses penerimaan ke jurusan Ilmu Lingkungan Hidup. Setelah mengirimkan dokumen tambahan, kukira aku hanya perlu menunggu kabar tentang diterima atau ditolaknya aku dari NTU. Ternyata tidak sesederhana itu. Seminggu setelahnya, pihak fakultas memintaku untuk mengirimkan esai singkat yang menjelaskan ketertarikanku terhadap jurusan ini. Beberapa hari kemudian, aku diundang untuk mengikuti wawancara dengan beberapa dosen melalui Skype. Waktu itu adalah masa persiapan Ujian Sekolah, jadi aku disibukkan dengan tryout, ujian praktik, les, dan sekarang persiapan wawancara. Puji Tuhan, semuanya itu dapat kulalui dengan tenang dan baik, satu langkah setiap waktunya, hingga akhirnya aku melihat diriku diterima sebagai orang Indonesia satu-satunya dari angkatan pertama jurusan Ilmu Lingkungan Hidup di NTU.
Enam tahun telah berlalu sejak aku melalui seluruh proses itu. Setelah mempelajari Ilmu Lingkungan Hidup selama empat tahun dan bekerja sebagai konsultan lingkungan hidup selama satu setengah tahun, dengan yakin aku dapat berkata bahwa aku tidak memiliki penyesalan sama sekali. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman seperti ini, yang semakin banyak kualami sejak pertobatanku, adalah mood-lifter-ku ketika sedang muram. Lewat mereka, aku terus diingatkan akan salib Tuhan Yesus yang menebus segala dosaku dan memberikan Roh Kudus untuk tinggal di dalamku serta memperbaharui akal budiku. Karya Roh Kudus inilah yang memampukanku untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendak Allah dan terus melangkah maju di jalan yang Tuhan kehendaki harus kujalani.
Hari-hariku sebagai mahasiswa Ilmu Lingkungan Hidup di NTU adalah sebuah pengucapan syukurku kepada Tuhan, yang pembelajaran daripadanya kurangkumkan di sini.
Penutup: kebebasan keputusan kita dalam kedaulatan Allah
Sebagai penutup, aku ingin mengajakmu membayangkan situasi berikut: Tuhan memberikan kita sebuah buku yang berisi setiap keputusan yang harus kita buat, yang pasti sesuai dengan kehendak-Nya. Bayangkan implikasinya: kita tidak perlu bergumul setiap kali ingin membuat keputusan, tidak perlu susah-susah mempelajari Alkitab dan memahami “apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya, dan yang sempurna”. Tinggal mengikuti apa yang tertulis dalam buku itu, maka keputusan kita pasti sesuai dengan kehendak-Nya. Apa yang akan menjadi reaksimu? Merasa sangat bersyukur, karena kehidupan ke depannya hanya perlu mengikuti isi buku? Atau merasa pemberian ini tidak konsisten dengan karakter Tuhan yang kita kenal?
Perhatikan kata kerja yang dipakai Tuhan dalam Mazmur 32:8—“mengajar”, “mengarahkan”, dan “menasihati”. Apa persamaan di antara ketiganya? Semuanya adalah kata kerja yang memberikan kita pilihan untuk memberi diri kita diajar, diarahkan, dan dinasihati oleh-Nya. Ilustrasi situasi di atas lebih mirip sebuah robot yang tidak punya pilihan kecuali melaksanakan apa yang sudah tertulis di dalam kodenya daripada kondisi manusia yang tetap bisa menjalankan kehendak bebasnya dalam kedaulatan Allah.
Layaknya orangtua yang ingin anak-anaknya memahami dan menimbang setiap alasan dan konsekuensi dari setiap pilihan yang ada serta mengambil keputusan terbaik tanpa perlu diberitahu terus menerus, Tuhan ingin kita benar-benar mengenal-Nya dan mengambil keputusan terbaik dalam ketaatan kepada-Nya. Tentu dari waktu ke waktu kita perlu menanyakan pendapat orang lain yang mengenal kita dekat, tapi pada akhirnya keputusan kita adalah milik kita sendiri di hadapan Tuhan.
Itulah salah satu alasan Dia mengirimkan Anak-Nya Yesus Kristus ke dalam dunia: agar Ia menjadi teladan ketaatan bagi orang-orang yang percaya kepada-Nya (bdk. Ibr. 5:8–9). Di mana buktinya? “Namun, bukan apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki,” kata Yesus seperti yang tercatat dalam Markus 14:36. Kristus memilih untuk taat kepada kehendak Bapa dan mati di kayu salib agar setiap keputusan yang kita ambil bukannya serupa dengan dunia melainkan sesuai dengan kehendak Bapa,.
Selamat bertekun dalam disiplin-disiplin rohani serta mengambil keputusan bersama-Nya!
Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.
Pertanyaan refleksi
Sudahkah kamu bergaul dekat dengan Allah dan Firman-Nya?
Apakah keputusan-keputusan yang kamu ambil telah dilandasi oleh prinsip-prinsip kebenaran Alkitab?
Apakah kamu telah mengenal dirimu sendiri sehingga kamu mengetahui dengan jelas preferensi-preferensi dan pandangan-pandangan pribadimu?
Sudahkah kamu menyerahkan segala keputusan yang kamu buat kepada Tuhan dalam doa?
Jefferson, M.Sc, B.Sc
Tulisan ini pernah dimuat di : Warungsatekamu
Jika melalui tulisan ini Anda merasakan dorongan di hati, mungkin Tuhan sedang mengajak Anda untuk turut ambil bagian.
Kami mengundang Anda dengan rendah hati untuk mendukung pelayanan ini melalui persembahan kasih, sebagai wujud nyata dari kepedulian dan kasih yang Tuhan taruh dalam hidup kita.
Setiap dukungan yang Anda berikan akan menjadi berkat yang berarti bagi banyak jiwa yang rindu mengalami kasih dan pengharapan sejati
Bekerja dengan Iman: Menemukan Makna Rohani dalam Pekerjaan Sehari-hari ( Catatan Refleksi dalam Dunia Profesi )
Writer : Christianto Salimanan M. Min Marketplace
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, pekerjaan sering kali menjadi sekadar rutinitas, sesuatu yang harus dilakukan demi memenuhi kebutuhan hidup. Tidak sedikit orang Kristen yang merasa pekerjaannya jauh dari hal-hal rohani, bahkan terpisah dari panggilan iman. Namun sesungguhnya, pekerjaan bukanlah ruang yang terpisah dari kehidupan rohani kita. Justru di situlah, iman kita diuji, diwujudkan, dan dibentuk setiap hari.
Alkitab tidak pernah memisahkan antara hal “rohani” dan “sekuler.” Sejak awal penciptaan, Tuhan memberi manusia tugas untuk bekerja dan memelihara ciptaan-Nya (Kejadian 2:15). Artinya, bekerja adalah bagian dari mandat ilahi. Ketika kita mulai melihat pekerjaan bukan hanya sebagai alat mencari nafkah, melainkan sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan, maka setiap aktivitas di kantor, toko, rumah, atau bahkan layar komputer menjadi bermakna baru.
Bekerja dengan iman berarti menjadikan Tuhan sebagai pusat dari segala sesuatu yang kita lakukan. Ini bukan soal memasang ayat Alkitab di meja kerja atau menyetel lagu rohani di latar belakang. Lebih dari itu, ini tentang integritas, kejujuran, kasih, dan pelayanan yang hidup di tengah deadline, rapat yang melelahkan, atau klien yang sulit. Iman kita terlihat bukan hanya di gereja, tapi juga dalam bagaimana kita bersikap di tempat kerja.
Sebagai seorang arsitek, saya terbiasa dengan tekanan proyek, dinamika tim yang beragam, dan keputusan teknis yang sering kali harus dibuat cepat. Dalam banyak proyek, saya bekerja dengan rekan-rekan dari berbagai latar belakang agama dan nilai hidup. Ada masa ketika saya merasa sulit menghubungkan iman Kristen saya dengan dunia kerja yang keras, kompetitif, dan kadang sangat sekuler. Namun, dalam perjalanan saya, saya mulai belajar bahwa pekerjaan saya justru adalah tempat paling nyata untuk menghidupi iman.
Buku Every Good Endeavor karya Tim Keller menjadi salah satu yang membuka mata saya. Ia menulis, “Pekerjaan bukan sekadar cara untuk mencari nafkah, tapi juga cara untuk melayani Tuhan dan sesama.” Pandangan ini mengubah cara saya memandang meja gambar dan rapat-rapat proyek. Saya mulai menyadari bahwa Tuhan peduli bukan hanya pada hasil akhirnya, tapi juga pada cara saya bekerja, bersikap, dan memperlakukan orang lain dalam prosesnya.
Di tengah dunia kerja yang penuh tuntutan, saya belajar bahwa bekerja dengan iman berarti menghadirkan nilai-nilai kerajaan Allah dalam setiap aspek pekerjaan. Ketika saya menjaga integritas di tengah tekanan untuk "main aman", atau ketika saya memilih untuk tetap menghormati rekan kerja yang berbeda iman, saya tahu saya sedang menghidupi Injil, meskipun tidak mengucapkannya secara langsung. Seperti yang ditulis Amy Sherman dalam Kingdom Calling, “Kita dipanggil untuk memadukan iman dan pekerjaan dengan cara yang menghadirkan shalom : keutuhan, keadilan, dan kebaikan ke dalam dunia.”
Beberapa prinsip dasar yang bisa menolong kita menjalani pekerjaan dengan iman antara lain:
Melihat pekerjaan sebagai panggilan, bukan hanya kewajiban. Tuhan menempatkan kita di posisi kita sekarang untuk alasan yang lebih besar dari sekadar mencari rezeki.
Menjaga integritas dalam setiap keputusan. Bahkan ketika tidak ada yang melihat, Tuhan melihat.
Melayani lewat pekerjaan. Setiap produk, layanan, atau bantuan yang kita berikan adalah bentuk pelayanan kepada sesama.
Mengandalkan Tuhan, bukan hanya kemampuan diri. Dalam tantangan, kita belajar berserah, bukan hanya berjuang sendiri.
Berserah di tengah tekanan, percaya bahwa Tuhan turut bekerja dalam setiap proses.
Saya sering kali kembali pada ayat Kolose 3:23, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Ayat ini menjadi jangkar ketika motivasi saya mulai bergeser. Saya diingatkan bahwa pekerjaan saya bukan hanya soal desain yang estetis, tapi juga tentang menciptakan ruang yang membawa nilai kehidupan, kedamaian, dan keadilan, sesuatu yang mencerminkan karakter Tuhan.
Literatur lain seperti Work in the Spirit oleh Miroslav Volf dan The Other Six Days oleh R. Paul Stevens juga memperluas pemahaman saya bahwa pekerjaan adalah bagian dari ibadah. Volf menekankan bahwa pekerjaan kita bisa menjadi partisipasi dalam karya penciptaan dan penebusan Allah di dunia. Ini memberi saya perspektif bahwa bahkan detail teknis dan koordinasi proyek yang tampaknya sepele, bila dilakukan dengan iman dan kasih, bisa menjadi bagian dari misi Allah.
Di sisi lain, saya juga belajar melihat pekerjaan saya sebagai ruang untuk menjadi berkat. Pernah suatu kali, saya mengerjakan proyek dengan seorang klien non-Kristen yang sangat tertutup. Tapi dalam proses panjang itu, hubungan kami berkembang. Ia mulai membuka diri, dan bukan karena saya menginjil secara langsung, tapi karena ia merasa dihargai, didengarkan, dan dilayani dengan jujur. Saya belajar bahwa kasih dan ketulusan adalah bahasa universal. Dan dalam dunia kerja, itulah bentuk misi yang paling sederhana namun paling kuat.
Salah satu tantangan terbesar yang saya alami adalah menjaga hati di tengah persaingan. Dunia arsitektur sangat kompetitif. Ada godaan untuk membandingkan diri, mencari validasi lewat pujian atau proyek bergengsi. Tapi di saat-saat seperti itu, saya belajar untuk kembali kepada sumber utama identitas saya bukan sebagai “arsitek sukses”, tapi sebagai pribadi yang dikasihi Tuhan. Mazmur 127:1 berkata, “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya.” Ayat ini menyadarkan saya bahwa segala keberhasilan sejati dimulai dari ketergantungan kepada Tuhan.
Beberapa catatan kecil tambahan sebagai poin refleksi pada pembahasan ini :
Pekerjaan adalah tempat pembentukan karakter, bukan hanya pencapaian.
Dalam tekanan dan tantangan dunia kerja, Tuhan sering kali bekerja untuk membentuk kesabaran, kerendahan hati, dan karakter yang tak bisa dibentuk hanya lewat pengajaran, tetapi lewat proses nyata.
Iman yang hidup tercermin dari bagaimana kita memperlakukan orang lain.
Baik terhadap klien, rekan kerja, maupun bawahan, sikap kita mencerminkan siapa Tuhan yang kita sembah. Kasih, empati, dan kejujuran bisa menjadi kesaksian yang jauh lebih kuat daripada kata-kata.
Tuhan hadir dalam proses, bukan hanya hasil.
Kita sering terobsesi dengan pencapaian, tapi Tuhan bekerja bahkan di tengah proses yang tidak terlihat, dalam desain yang belum jadi, dalam revisi yang menyulitkan, dalam setiap langkah kecil yang kita tempuh dengan setia.
Menjaga hati lebih penting daripada menjaga citra.
Di tengah tekanan untuk tampil profesional dan “sempurna,” kita bisa kehilangan kepekaan rohani. Menjaga hati tetap murni di hadapan Tuhan jauh lebih penting daripada menjaga reputasi di hadapan manusia.
Pekerjaan adalah ibadah bila dilakukan dengan hati yang tertuju pada Tuhan.
Sekecil apapun tugas kita, membuat laporan, menggambar detail bangunan, atau menjawab email, semua bisa menjadi bentuk ibadah jika dilakukan dengan kesadaran bahwa kita sedang melayani Tuhan melalui pekerjaan kita.
Refleksi ini bukan sesuatu yang selesai dalam sekali duduk. Setiap proyek baru adalah latihan iman yang baru juga. Tapi saya bersyukur, karena dalam pekerjaan saya, Tuhan tidak hanya memakai tangan saya untuk bekerja, tapi juga membentuk hati saya untuk menjadi semakin serupa dengan-Nya. Dan saya yakin, ketika pekerjaan dilakukan dalam kasih, kejujuran, dan ketekunan, maka pekerjaan itu sekecil apa pun tidak akan pernah sia-sia di hadapan Tuhan.
Saya percaya bahwa setiap orang percaya dipanggil untuk “menggarami” profesinya masing- masing. Tidak semua orang dipanggil menjadi pendeta, tetapi semua orang dipanggil untuk membawa Kristus ke mana pun mereka pergi, termasuk ke kantor, proyek, rapat, dan ruang produksi. Dalam God at Work, Gene Edward Veith menulis bahwa pekerjaan kita adalah salah satu cara utama Tuhan memelihara dunia ini. Lewat desain bangunan, saya mulai melihat bahwa saya sedang berkontribusi dalam merawat ciptaan-Nya dan menciptakan ruang yang fungsional, indah, dan memberdayakan kehidupan.
Saya percaya bahwa dunia kerja bukanlah ruang yang terpisah dari kehidupan rohani saya. Justru di sanalah saya belajar menjadi murid Kristus yang sejati di tengah tuntutan, dalam relasi yang menantang, dan melalui keputusan-keputusan kecil yang saya ambil setiap hari. Menjadi seorang arsitek yang hidup dalam iman bukan berarti selalu berbicara tentang Tuhan, tetapi menghadirkan-Nya melalui cara saya bekerja dan hidup.
Christianto Salimanan, B.Arch, M.Min, CDMP
Jika melalui tulisan ini Anda merasakan dorongan di hati, mungkin Tuhan sedang mengajak Anda untuk turut ambil bagian.
Kami mengundang Anda dengan rendah hati untuk mendukung pelayanan ini melalui persembahan kasih, sebagai wujud nyata dari kepedulian dan kasih yang Tuhan taruh dalam hidup kita.
Setiap dukungan yang Anda berikan akan menjadi berkat yang berarti bagi banyak jiwa yang rindu mengalami kasih dan pengharapan sejati
Tangan Kecil, Hati Besar: Melayani dengan Apa yang Kita Punya
Writer : Christianto Salimanan M.Min Marketplace
Banyak anak berpikir bahwa melayani Tuhan hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa. “Saya masih kecil, belum bisa apa-apa,” mungkin itu yang sering terlintas dalam pikiran. Tapi kalau kita membuka hati dan Alkitab, kita akan menemukan bahwa Tuhan tidak pernah memandang usia. Ia melihat hati yang siap dipakai, bahkan sejak usia muda.
Ingat kisah anak kecil yang membawa lima roti dan dua ikan? (Yohanes 6:9). Bagi orang dewasa, bekal itu terlihat kecil, tidak berarti. Tapi ketika diserahkan kepada Tuhan, itu menjadi mukjizat yang memberi makan ribuan orang. Itu bukti bahwa tangan kecil bisa dipakai Tuhan untuk hal besar asalkan hatinya besar, rela memberi dan melayani. Saya pernah melihat sendiri bagaimana seorang anak berusia 8 tahun mendoakan temannya yang sedang sakit. Doanya singkat dan sederhana, tapi penuh keyakinan. Ternyata, beberapa hari kemudian, temannya itu merasa jauh lebih baik dan kembali ke sekolah. Mungkin bagi orang lain itu hanya kebetulan. Tapi saya percaya Tuhan menghargai iman yang tulus, bahkan dari seorang anak kecil.
Anak-anak juga bisa menjadi pengingat bagi orang dewasa tentang apa artinya melayani dengan sukacita. Mereka melayani bukan untuk dipuji, bukan karena kewajiban, tapi karena mereka ingin menyenangkan Tuhan. Ini adalah pelajaran besar bagi kita semua: pelayanan yang sejati lahir dari hati yang penuh kasih, bukan dari tuntutan atau pencitraan. Tentu, sebagai anak, masih banyak hal yang belum bisa dilakukan sendiri. Tapi justru di situlah pentingnya melayani bersama. Anak-anak bisa melayani bersama orang tua, guru, atau teman-temannya. Saat mereka merasa didampingi dan dihargai, mereka akan bertumbuh menjadi pribadi yang berani dan bersemangat untuk melayani Tuhan sepanjang hidupnya.
Saya percaya setiap anak punya sesuatu yang bisa dipersembahkan. Mungkin bukan uang atau keahlian besar, tapi:
Senyum yang tulus
Suara yang lembut untuk menyapa.
Keberanian untuk berdoa di depan teman-teman
Kesediaan menolong teman yang sedih
Ketekunan belajar Firman Tuhan meskipun belum sepenuhnya mengerti
Melayani tidak selalu berarti berkhotbah atau memimpin ibadah. Melayani bisa sesederhana mengangkat Alkitab untuk guru, atau mengajak teman yang baru pertama kali datang ke gereja. Tuhan melihat semua tindakan kecil itu sebagai bentuk pelayanan yang mulia.
Dalam 1 Timotius 4:12, Rasul Paulus berkata, “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya…” Ini adalah pesan yang kuat untuk semua anak dan remaja. Artinya, usia muda bukan halangan, tapi justru kesempatan untuk menjadi teladan — dalam perkataan, tingkah laku, kasih, iman, dan kesucian.
Ada satu hal yang sangat Tuhan hargai: hati yang mau dipakai. Ketika seorang anak datang dan berkata, “Tuhan, saya mau melayani-Mu, walau saya masih kecil,” itu adalah doa yang sangat berharga. Tuhan tidak menunggu kita menjadi sempurna baru bisa melayani. Dia justru suka memakai mereka yang lemah untuk menyatakan kuasa-Nya.
Mungkin ada yang merasa kurang percaya diri karena belum bisa bermain musik, belum berani bicara di depan umum, atau belum banyak tahu soal Alkitab. Tapi percayalah, pelayanan bukan soal kemampuan, tapi soal kerelaan. Tuhan akan memperlengkapi mereka yang mau dipakai.
Berikut beberapa cara praktis kita bisa mulai melayani:
Membantu guru sekolah minggu mempersiapkan alat peraga atau materi
Menjadi tim penyambut di pintu gereja dengan senyuman
Mendoakan teman-teman sekelas yang sedang kesulitan
Mengajak teman untuk ikut ibadah anak
Menghafal ayat-ayat Firman Tuhan dan membagikannya saat ada kesempatan
Anak-nak mungkin punya tangan yang kecil, tapi jika hati mereka besar, dipenuhi kasih Tuhan, kerelaan, dan keberanian maka tidak ada batas untuk apa yang bisa Tuhan lakukan melalui mereka. Gereja masa depan bukan hanya tentang orang dewasa, tetapi tentang generasi muda yang mulai dipakai Tuhan hari ini.
Jadi, jika kita masih muda dan berpikir, “Apa yang bisa saya lakukan untuk Tuhan?”, mulailah dari hal kecil. Tuhan melihat dan menghargai setiap langkah imanmu. Tanganmu mungkin kecil, tapi ketika Tuhan yang memegangnya, Ia bisa membangun hal besar yang membawa terang bagi banyak orang.
Christianto Salimanan, B.Arch, M.Min, CDMP
Jika melalui tulisan ini Anda merasakan dorongan di hati, mungkin Tuhan sedang mengajak Anda untuk turut ambil bagian.
Kami mengundang Anda dengan rendah hati untuk mendukung pelayanan ini melalui persembahan kasih, sebagai wujud nyata dari kepedulian dan kasih yang Tuhan taruh dalam hidup kita.
Setiap dukungan yang Anda berikan akan menjadi berkat yang berarti bagi banyak jiwa yang rindu mengalami kasih dan pengharapan sejati
Business as Mission: Transforming the Marketplace for God's Glory
Writer : Christianto Salimanan
In a world that often separates faith from the marketplace, the concept of Business as Mission (BAM) emerges as a powerful reminder that work and worship are intrinsically connected. BAM challenges Christians to view their businesses not merely as profit-generating enterprises but as platforms for advancing God’s Kingdom. Rooted in biblical principles, BAM integrates faith, work, and mission to bring holistic transformation to communities, cultures, and economies.
Both Timothy Keller in Every Good Endeavor and Amy Sherman in Kingdom Calling emphasize the importance of aligning work with God’s purposes. Keller argues that work is a form of worship, a way to reflect God’s creative nature and serve the common good. He writes, “Work is as much a basic human need as food, beauty, rest, friendship, prayer, and sexuality; it is not simply medicine but food for our soul” (Keller, 2012). This perspective calls Christians to see their vocations as sacred, whether in business, education, healthcare, or the arts.
Amy Sherman builds on this idea by introducing the concept of "vocational stewardship," where individuals use their talents and positions to advance the Kingdom of God. In Kingdom Calling, she highlights how professionals can engage in "shalom-making," bringing flourishing to their communities by addressing systemic injustices and promoting equity. For business leaders, this means creating ethical workplaces, fostering economic development, and prioritizing the well-being of employees and customers.
Holistic Impact
BAM focuses on addressing spiritual, social, and economic needs. A BAM business seeks to be a blessing to its employees, customers, and the wider community, going beyond profit to foster human flourishing.
Integration of Faith and Work
BAM rejects the secular-sacred divide, emphasizing that all work done for God’s glory is inherently spiritual. Business leaders are called to reflect Christ’s character in their decision-making, leadership, and interactions.
Community Transformation
BAM initiatives aim to create jobs, alleviate poverty, and bring hope to marginalized communities. By operating with integrity and purpose, businesses can contribute to lasting social change.
To live out Business as Mission, Christian entrepreneurs and professionals can take practical steps such as:
Creating Redemptive Business Models
Design businesses that solve pressing social issues while reflecting Kingdom values. For example, a BAM enterprise might focus on providing sustainable employment for vulnerable populations.
Fostering a Kingdom-Oriented Culture
Build workplace environments that encourage integrity, compassion, and collaboration. This includes fair wages, employee development, and ethical practices.
Engaging in Discipleship Through Work
Use business as a platform to mentor employees, demonstrating Christ-like leadership and guiding them in their spiritual journeys.
Business as Mission has the potential to reshape how Christians engage with the marketplace. By viewing work as a divine calling, believers can bring light to areas often overshadowed by greed, exploitation, or indifference. As Keller and Sherman argue, this approach not only fulfills the Great Commission but also the cultural mandate to steward God’s creation and promote human flourishing.
In a rapidly changing world, BAM provides a compelling vision for how businesses can be instruments of God’s grace and agents of transformation. By integrating faith with work, we can demonstrate the love of Christ in tangible ways, leaving a lasting impact on both people and society.
Christianto Salimanan, B.Arch, M.Min, CDMP
Jika melalui tulisan ini Anda merasakan dorongan di hati, mungkin Tuhan sedang mengajak Anda untuk turut ambil bagian.
Kami mengundang Anda dengan rendah hati untuk mendukung pelayanan ini melalui persembahan kasih, sebagai wujud nyata dari kepedulian dan kasih yang Tuhan taruh dalam hidup kita.
Setiap dukungan yang Anda berikan akan menjadi berkat yang berarti bagi banyak jiwa yang rindu mengalami kasih dan pengharapan sejati
"For we are God’s handiwork, created in Christ Jesus to do good works, which God prepared in advance for us to do." – Ephesians 2:10